Kegiatan seorang pecinta alam tidak terpisahkan dari lingkungan karena sebagian besar atau bahkan seluruh kegiatan pecinta alam berkaitan dengan lingkungan baik itu lingkungan hutan, gunung, gua, sungai, tebing dan lain-lain. Kegiatan tersebut merupakan wujud kedekatan seseorang dengan alam yang dicintainya.
Kegiatan kepecintaalaman tersebut pada masa sekarang ini merupakan suatu kegiatan yang cukup populer sehingga banyak orang yang ikut serta dan turut menggemarinya. Akan tetapi sekedar gemar saja tidak cukup. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kejadian semakin rusaknya alam akibat dari kegiatan yang mengatasnamakan kecintaannya terhadap alam dan juga terjadinya peristiwa-peristiwa kecelakaan pada saat kegiatan tersebut dilaksanakan, seperti misalnya pendakian gunung, penelusuran gua, arung jeram, panjat tebing dan lain-lain.
Kecelakaan ini bukanlah disebabkan alam yang kejam dan tidak terkuasai, tetapi lebih banyak tergantung pada para pecinta alam itu sendiri.
Demikianlah, kecintaalam tidak hanya menuntut minat dan semangat, namun juga yang terpenting adalah pengetahuan tentang alam dan lingkungannya, keter yang berupa perjalanan alam bebas atau ekspedisi tersebut, seorang pecinta alam harus membekali diri. Bekal tersebut berupa :
1. Mental. Seorang pecinta alam harus tabah menghadapi berbagai kesulitan di alam terbuka tidak mudah putus asa, dan berani. Berani dalam arti sanggup menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan kemudian mengatasinya dengan cara bijaksana dan benar mengakui keterbatasan kemampuan yang dimilikinya.
2. Teknik hidup alam bebas. Meliputi tali temali, PPPK, Metoda komunikasi, perkemahan dan bivak, Navigasi Darat, Survival, Mountaineering, Penelusuran Gua, Penelusuran Sungai dan SAR.
3. Fisik yang memadai. Karena kegiatan kepecintaalaman termasuk olahraga yang cukup berat dan seringkali tergantung kepada kemampuan fisik, maka setiap pecinta alam harus memiliki kemampuan fisik yang cukup kuat untuk menghadapi dan melaksanakan setiap kegiatan tersebut.
4. Etika. Seorang pecinta alam adalah bagian dari masyarakat yang memiliki kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang berlaku. Dalam setiap tindakan, seorang pecinta alam diharapkan menghargai kaidah, hukum dan norma masyarakat itu. Demikian sehingga terdapat kode etik pecinta alam yang akan memberikan pedoman sikap pecinta alam.
5. Kesadaran konservasi. Dengan memiliki bekal ini, seorang pecinta alam seharusnya sadar bahwa alam bukan hanya untuk dimanfaatkan demi kepentingan pribadi. Tetapi lebih dari itu, dia dituntut untuk mengutamakan perlindungan dan pelestariannya.
Etika Berkelana di Rimba Raya
Lokasi rimba raya yang menjadi sasaran kegiatan berkelana biasanya jauh dari tempat pemukiman. Rimba raya di Indonesia terwujud dalam berbagai bentuk ekosistem. Diantaranya adalah ekosistem hutan pegunungan, hutan berbukit-bukit, hutan dataran rendah, hutan savana, hutan pantai dan hutan tanah gambut. Sebaiknya kita tidak melakanakan perjalanan tanpa tujuan yang jelas dan persiapan perencanaan yang memadai. Agar rencana perjalanan berjalan dengan lancar, selamat dan sukses, terlebih dahulu harus diketahui hal-hal yang boleh dilakukan, hal-hal yang tidak boleh dilakukan, kemungkinan yang akan dihadapi, tindakan pada waktu tersesat, perlengkapan yang harus dibawa dan lain-lain.
Pengelana yang bertanggung jawab tidak akan melakukan :
· Menyalakan api secara tidak dikendalikan yang dapat menyebabkan kebakaran hutan
· Merusak tanda-tanda di lapangan, baik tanda-tanda lalu lintas, tanda larangan dan penjelasan tentang obyek-obyek
· Tidak merusak sarana dan prasarana wisata yang ada
· Tidak mengganggu unsur-unsur habitat dan satwa khas yang ada
· Tidak melakukan keisengan-keisengan yang dapat menyusahkan/mencelakakan orang lain (memasang petasan, jebakan dan lain-lain)
· Tidak membuat corat-coret pada pohon-pohon dan batu-batuan
· Menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang kurang terpuji (menurut norma agama dan adat istiadat)
· Tidak membuang sampah sembarangan, sedapat mungkin dibawa pulang
· Tidak melakukan perburuan satwa, apalagi yang dilindungi
· Tidak merusak tumbuhan dan batuan dengan coretan cat atau menorehnya dengan pisau
· Kurangi sedapat mungkin penebangan/pemotongan pohon dan belukar
· Pada keadaan darurat (tersesat, kecelakaan, perbekalan habis, dan lain-lain) jangan panik. Lakukan prosedur-prosedur yang diperlukan dan cari pertolongan secepatnya
Etika dalam Mendaki Gunung
Ketika anda memutuskan untuk melakukan perjalanan menuju sebuah gunung, tentu anda seharusnya mempersiapkan segala sesuatunya secara matang, baik personil, logistik, perlengkapan maupun pengetahuan medan.
Ketika anda merencanakan untuk menaiki sebuah gunung yang cukup sulit, tentu anda juga akan menyiapkan tim yang ideal dan solid menurut anda, dan anda tahu betul kemampuannya. Perbekalan dan peralatan yang cukup juga situasi medan dan route yang akan anda lalui, kemudian anda siap untuk melakukan perjalanan.
Bahaya tentu saja akan selalu ada baik itu dari anda dan tim anda yang menyangkut kesiapan perlengkapan dan peralatan tim maupun pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki tim dalam melakukan perjalanan. Bahaya dari luar akan selalu ada, tergantung kesiapan tim dan kesolidan tim dalam menghadapinya.
Mental akan sangat berpengaruh dalam perjalanan anda. Sejauh mana kemampuan leader dalam memimpin tim dan respect tim terhadap leader dengan segala keputusannya. Bagaimana sesama anggota tim saling mendukung dan membantu satu sama lain.
Demi keselamatan pengunjung dan kelestarian alam, pendaki hendaknya mematuhi kewajiban sebagai berikut :
1. Sebelum melakukan pendakian, calon pendaki diwajibkan melapor ke pos jaga terkahir, untuk dilihat apakah persyaratan pendakian telah dipenuhi atau belum
2. Pendaki juga diwajibkan melapor ke perangkat desa (terakhir) di rute perjalanan
3. Setelah pendakian, pendaki diwajibkan lapor ke pemberi ijin, untuk memastikan ada tidaknya pendaki yang telambat turun
4. Pendaki diwajibkan memperhatikan kebiasaan dan adat istiadat setempat (pakaian, hal-hal yang ditabukan dan lain-lain)
5. Bila terjadi musibah agar segera ke pos kehutanan dan atau aparat pemerintah setempat
6. Yakinkan bahwa bekas api unggun telah benar-benar padam sebelum ditinggalkan
7. Pendaki agar mempunyai asuransi kecelakaan diri
8. Larangan
Untuk berhasilnya suatu pendakian, agar diperhatikan larangan-larangan sebagai berikut:
· Dilarang keras membawa obor sebagai alat penerangan (pada pendakian malam hari), agar tercegah kebakaran. Sebagai gantinya dapat digunakan senter
· Dilarang membuang benda yang mengandung api (misalnya puntung rokok) selama pendakian
· Dilarang mempergunakan kayu untuk keperluan apapun (api unggun, masak, tongkat)
· Dilarang mengambil tumbuhan dan binatang, telur atau sarang apapun, terutama bila gunung yang didaki termasuk kawasan konservasi (cagar alam, taman nasional)
· Dilarang membuat kegaduhan (berbicara keras, membunyikan alat musik) yang dapat mengganggu kehidupan satwa dan pendaki lain
· Dilarang membuang sampah apapun (kertas, plastik, kaleng). Benda-benda tersebut harus diangkut kembali ke bawah
· Dilarang mencemari lingkungan, termasuk mencoret-coret batu, kulit/akar/daun pohon
· Dilarang melakukan tindakan apapun yang dapat mengganggu keaslian alam.
sumber : para pendaki gunung
Warga Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, Sabtu (4/12/2010), menemukan danau yang permukaan airnya berwarna merah dengan luas 6 hektar di perbatasan Provinsi Bengkulu atau sekitar bukit Raje Mandare.
Keberadaan danau ini juga baru dapat dijangkau dalam waktu sekitar dua hari dengan berjalan kaki melewati kawasan hutan dan bukit Rimbacandi, Kelurahan Candi Jaya, Kecamatan Dempo Selatan.
Air terjun terbesar di Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, ditemukan warga di Dusun Muara Tenang, Kelurahan Perahu Dipo, Kecamatan Pagaralam Selatan, Sumatera Selatan, dengan ketinggian 100 meter dan lebar 20 meter.
Reduce energy usage
The most dificult day of every month is when time comes to pay bills and mostly the enormous electricity bills that we get. It’s high time and we need to take serious measures to reduce the power bill. Do not worry. We will share some key tips and will make you reach your goal.
Make sure to discuss with family member about the importance of saving electricity. You can reward them a treat if their participation has led to savings. Suggest them some tips like switching of the lights when they are not present there and attending a call in another room or having dinner at the dining table. Make sure to switch off all the appliances even if you are sure to be back in five minutes. Yes, that will help a lot. Every drop of water makes an ocean.
We may prefer to switch off the television set or turn off the fan, but not the tubelight.We need light at the time of night but see that the usage is required in all the rooms or not.Taking care of such these small precautions will surely leads us to savings in the long run by reducing the bills of the power demon.
One should plan to invest smartly on power. Replace all the incandescent bulbs present in the house with compact fluorescent light or those CFL bulbs. These bulbs consume less electricity as they consume less power.
Buy the energy saver gadgets that are available in the market. Such gadgets will monitor the intake of the entire power supply in your house and makes you take decision on how to control the usage.
Most of us assume on the fact that the rise in electricity bill is due to the vast number of electrical items present at home. But the truth is that the electricity bill is not directly connected or affected due to the number of gadgets, but by the way one uses them.
Take a step forward to avoid using those typical items regularly that consumes lot of power -
• The washing machine should be used only when there is a bucket full of clothes.
• The geyser should not be kept on for maximum amount of time.
• The air-conditioner should be kept at minimum high or low temperature.
• Take note to switch off the computer monitor when not in use. It consumes maximum power and it just takes a second to switch it again.
Lastly we suggest that for reducing the electricity bill by taking benefit of reading the energy saving guide like Earth4Energy that has some of the best solutions to generate energy at home and providing free electricity to some of your home appliances. In this way we can save power that is facing a huge shortage because of the large demand in the global countries. Try to reduce the requirement of those electrical wires and sockets for home and use the renewable energy extracted from natural resources like wind, sun, tides at a lesser price but having a long term returns. Click Here!
Preparing for a trip
One common preparation for hiking is to do regular exercise, stimulates liver function and blood circulation resulting in more muscles stronger. best practice include: walking (at least 3-4 hours), cycling, swimming, walking in the forest, jogging, itinerant training (circuit training) run through the ladder with quick steps.
To prepare the high mountains that we must do the exercises on the uneven field to train the calf muscles, knees. Practice on uneven ground also foster a feeling of security.
Besides the physical and skill, mountain climbing also requires mental stability and concentration ability. mountaineers have to train patience and understanding of abilities.
Important things to travel to the mountain are:
1. Travel plans and the calculation time is needed. This plan includes the knowledge of the area to be on the go, with a thorough understanding maps and directions, preparations are also included for the conditions of uncertainty such as health conditions, air and weather, it will be very good we collect data and information to people who has experience in the area. computation time also becomes a very important factor in doing mountain climbing, ideally calculations are: for horizontal distance 4 km in travel within 1 hour, but in the climbing field in 1 hour a person can climb of approximately 400 m and can go down as far as 600-700 m, then for the terrain that is really new we go to the calculation time becomes very important because it is closely related to the amount of consumption and health. listen to instructions from local people because somehow they are more familiar territory than we do, prepare equipment with good ripe that the type, number and function, check back before setting out to avoid risk.
2. Food. In accordance with the time and travel distance, a mountain climber every day spent 4000 to 6000 calories, 60% carbohydrate, 20% fat and 20% egg white. a climber should bring foods that are in need only, dry foods and fruits. If we are going to travel alone so before leaving we had to eat bread or rice with additional consumption of honey and drink tea or coffee. when it is stopped on the trip will be very good if we eat and drink a little to strengthen the power. drink intake also should be enough, assuming that the way drinking is not true just a little, drink a lot but little by little, if not drinking it should be replaced with other foods to add energy.
3. Acclimatization (conformance with the surrounding air.) Every living thing has a certain time to adjust to the amount of acid in the higher regions. time is needed for adjustment with the air every person is different. A healthy and well-trained people who used to live at an altitude of approximately 500 meters above sea level requires 2-3 days before they can feel good at an altitude of 2000-2500 masl. to a height of 2500-3000mdpl, one must perform between 3-5 days of acclimatization. if it will travel over the previous 4000mdpl must experience first trip for 1 week above 2000 m. The higher the place will be more high risk also will be facing, physical readiness, mental and supporting facilities will be very influential, calm is the best attitude that we must bear in mind! A person may experience pain if located at an altitude start 3000mdpl, from mild, such as headaches, palpitations, like vomiting, shortness of breath until the very dangerous to the accumulation of water in the lungs, the sign is a cough that raises the voice of the throat and slimy vomit to find it hard to breathe, when the symptoms arise then the only way is to quickly return to a more low-to feel more comfortable.
written by: Aan Syahar
Persiapan untuk suatu perjalanan
Salah satu persiapan umum untuk mendaki gunung adalah melakukan latihan rutin, merangsang hati dan peredaran darah lebih berfungsi sehingga menghasilkan otot yang lebih kuat. latihan terbaik meliputi : perjalanan jauh (minimal 3 - 4 jam); bersepeda, berenang, perjalanan dalam hutan, jogging, latihan keliling (circuit training) berjalan melalui tangga dengan langkah cepat.
Untuk persiapan ke pegunungan yang tinggi kita harus melakukan latihan di lapangan yang tidak rata untuk melatih otot betis, lutut dan mata kaki.latihan di lapangan yang tidak rata juga menumbuhkan perasaan aman.
Selain fisik dan ketrampilan, mendaki gunung juga menuntut stabilitas kejiwaan dan kemampuan konsentrasi yang baik.seorang pendaki gunung harus melatih kesabaran dan memahami kemampuan dirinya.
Hal-hal penting dalam melakuakan perjalanan ke gunung adalah :
di tulis oleh : Aan Syahar
With digital cameras at their most affordable, anybody can be a photographer these days. Problem is, it takes more than a camera to take good pictures.
It takes a certain eye, a way of seeing things, to take pictures that make people go "Wow!". Fortunately, it can be learned. And the more you practice, the better you'll get.
If you're interested in becoming a good digital photographer, I recommend the "Shoot Digital Pics Like the Pros," a free report.
Start by taking a look at these most common mistakes people make when taking digital pictures:
1. Not knowing your camera
If you never read your digital camera's manual and learn its features and how to use them, you won't be able to make the most of it.
2. Not using a tripod
Tripods allow you to take the sharpest pictures even in low light. Use one as often as possible.
3. Not giving the camera time to focus
Digital cameras need time to properly focus and get the right exposure. It can take a fraction of a second or a couple of seconds. Account for this when taking pictures.
4. Relying too much on zoom
Using the camera's zoom feature makes the picture grainier. Get as close to the subject as possible.
5. Taking pictures against the light
This makes the subject dark and the background too bright.
6. Relying too much on the flash
Natural light gives the best pictures, so use it as much as possible. Flash tends to make images look harsh.
7. Not taking enough pictures
It's almost impossible to take the perfect shot at one try, so take many pictures. With digital photography, this doesn't cost you extra. Try different angles and compositions.
8. Always putting the subject dead center
Learn the rule of thirds in composition, and you'll have more interesting pictures.
9. Forgetting to check the horizon
When taking pictures with the horizon showing, make sure it's level.
10. Selecting a low-resolution setting
Your camera will allow you to select different resolutions. Don't be tempted to choose a low resolution just to save on memory space. Instead, buy additional memory for your camera and always take your pictures in high resolution.
11. Trying to take too much
Don't try to include too many things in one picture, such as people and scenery. A picture is more effective when it's focused on a single subject.
12. Not using the camera
You'll never know when a good photo op will come up, so have your camera with you at all times.
It may seem like a lot to think about, but with practice, these things will become second nature.
For those who want to learn even more digital photography techniques, check out the free report, "Shoot Digital Pics Like the Pros." It's a short but info-filled guide that will have you shooting digital pictures like a pro in no time.
Find out more about "Shoot Digital Pics Like the Pros" here:
www.learndigitalphotographynow.com
The Mountaineer Legend : Sir Edmund Hillary
Born on July 20, 1919 in Auckland, New Zealand to parents Percival Augustus Hillary and Gerrude Clark, Edmund was set to do big things in the world of mountaineering. Growing up in Tuakau, the shy and introverted Hillary finished primary school at the Tuakau Primary School two years early, and went to Auckland Grammar Scool where he struggled to achieve average marks. Being smaller than the rest of the kids in school, Hillary took solace in his books and his adventurous thoughts.
Hillary got into mountaineering after a school trip to Mount Ruapehu, the largest active volcano in New Zealand, when he was 16. It was in this trip that he realized he was physically strong and had greater endurance compared to his companions. After graduating at the University of Auckland with a degree in Mathematics and Science, he set out for his first mountain climb in 1939 where he reached the summit of Mount Ollivier in the Southern Alps. Working as a beekeeper during the summer, his work allowed him to pursue climbing during the winter season.
After conquering numerous mountains, Hillary was set to become a legend in mountaineering, being the first ever to reach the summit of Mount Everest together with his Sherpa mountaineer, Tenzing Norgay. The successful British attempt came true in 1953, with as much as 400 people, with over 350 porters and 20 sherpa guides. The highest point on earth was reached by Hillary and Tenzing at 11:30 am, on May 29, 1953. Hillary was 33 years old. After summiting Everest and being knighted by Queen Elizabeth II, Hillary went on to climb other Himalayan peaks.
Hillary was married to Louise Mary Rose in 1953, and had three children, Peter, Sarah and Belinda. Their marriange was shortlived after Louise together with her daughter Belinda died in a plane crash in 1975 on thier way to join Hillary in Phaphlu. In 1989 Hillary married June Mugrew, the widow of his close friend Peter Mulgrew who had died in 1979 after the Air New Zealand Flight 901 crashed on Mount Erebus.
Aside from mountaineering, Hillary devoted much of his time in helping the Sherpas of Nepal when he founded the Himalayan Trust. He was also appointed as the Honorary President of the American Himalayan Foundation. With his efforts, Hillary has helped built a number of schools and hospitals in the remote regions of Himalayas.
He died on January 11, 2008 at the Auckland City Hospital after suffering from a heart attack. His death at the age of 88 was a sorrowful loss not only to the world of mountaineering but to the world. His bravery and strength to conquer the world became evident in his accomplishments.
abc-of-mountaineering
Sebuah Pengantar Mendaki Gunung
Kalau kita putar mesin waktu kita, sebenarnya "orang orang PA" itu sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Tahun 1912, di Nusantara sudah ada yang namanya DE NEDERLANDSH INDISCHE VEREENIGING TOT NATUUR RESCHERMING kita memang tidak tahu apa artinya, tapi yang jelas ada kat...a Natuur-nya tuh (hehehe!!!!). Hingga pada tahun 1937 terbentuklah BESCHERMING AFDELING VAN'T LAND PLANTETUIN. Inilah kegiatan kepencintaalaman mulai aktif. Tapi kapankah kegiatan pencinta alam secara resmi dimulai di jaman Republik Indonesia?????? Mengapa istilah 'pencinta alam'yang dipilih???? Pertanyaan2 ini mungkin pernah terlintas di benak kita dan juga sering jadi bahan perdebatan. Untuk mencoba menjawabnya, saya ringkaskan artikel dari alm. Norman Edwin berjudul "Awibowo - Biang Pencinta Alam Indonesia" (Mutiara, 20 Juni-3 Juli 1984). Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air. Nama perkumpulannya yaitu "PERKOEMPOELAN PENTJINTA ALAM"(PPA). Berdiri 18 Oktober 1953. "Selesai revolusi kami ingin mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini. Itu kami wujudkan dengan mencintai alamnya,"kata Awibowo yang saat wawancara sudah berusia hampir 80 tahun. Saat pendirian, Awi baru selesai pendidikannya di Universitas Indonesia di Bogor (sekarang IPB). Diskusi ramai digelar bersama teman2nya, ada yang mengusulkan 'penggemar alam, pesuka alam'dsb. Tapi Awi mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka. Gemar/suka mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi. "Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?"kata dia. Istilah pencinta alam akhirnya dipakai. Tapi bagaimana reaksi masyarakat saat itu. Ternyata orang2 masih merasa aneh karena saat itu istilah cinta masih dikaitkan selalu dengan asmara. Tapi Awibowo dkk terus bergerak. Tujuan mereka adalah memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan anggauta2nya dan masyarakat umumnya. Satu kegiatan besar yg pernah diadakan PPA adalah pameran tahun 1954 dalam rangka ulang tahun kota Jogja. Mereka membuat taman dan memamerkan foto kegiatan. Mereka juga sempat merenovasi "argadhumilah" /tempat melihat pemandangan di Desa Patuk, tepat di jalan masuk Kabupaten Gunung Kidul. PPA sempat meluas hingga anggota datang dari Jogja dan kota lain. Mereka juga sempat menerbitkan majalah "Pentjinta Alam"yang terbit bulanan. Sayang perkumpulan ini tak berumur panjang. Penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun 1950. WANADRI (PERHIMPUNAN PENEMPUH RIMBA DAN PENDAKI GUNUNG), merupakan salah satu organisasi tertua yang bergerak dalam kegiatan alam bebas. Wanadri mempunyai sekretariat di kota Bandung. Wanadri berdiri tahun 1964, tahun yang sama dengan tahun lahirnya MAPALA SASTRA UI. Gagasan untuk mendirikan Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri dicetuskan oleh sekelompok pemuda yang sebagian besar adalah bekas pandu pada bulan Januari 1964. Perhimpunan ini kemudian diresmikan pada tanggal 16 Mei 1964. Wanadri terdiri dari sekelompok orang yang mencintai kehidupan di alam bebas. Wanadri lebih jauh lagi merupakan masyarakat tersendiri, yang memiliki aturan dan norma baik tertulis maupun tidak, namun semua itu berlaku dan dihormati. Nama Wanadri berasal dari bahasa Sansekerta. "Wana" berarti hutan dan "adri" itu gunung. Wanadri berarti gunung di tengah-tengah hutan. Visinya berdasar AD/ART adalah menjadi organisasi pendidikan untuk mendidik manusia, khususnya anggotanya untuk mempunyai nilai-nilai yang terkandung dalam hakekat dan janji Wanadri. Tujuan Wanadri adalah membentuk manusia yang mandiri, ulet, tabah. Mendidik anggotanya menjadi manusia Pancasilais sejati, percaya pada kekuatan sendiri. Di Fakultas Sastra UI, sebelum berdirinya Mapala UI, sudah terdapat kelompok – kelompok mahasiswa yang gemar bertualang di alam bebas. Mereka yang terdiri dari mahasiswa Arkeologi dan Antropologi yang banyak turun ke lapangan serta mereka yang pernah tergabung dalam organisasi kepanduan. Sayangnya kelompok – kelompok ini tidak terkoordinir dengan baik dalam satu wadah dan mereka juga tidak pernah membuka diri dengan peminat – peminat baru di luar jurusannya. Adalah seorang Soe Hok Gie yang mencetuskan ide pembentukan suatu organisasi yang dapat menjadi wadah untuk mengkoordinir kelompok – kelompok tadi, berikut kegiatan mereka di alam bebas. Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Sdr. Soe sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama IKATAN PENCINTA ALAM MANDALAWANGI itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Adapun organisasi yang diidamkan Sdr. Soe itu merupakan organisasi yang dapat menampung segala kegiatan di alam bebas, dan ini dikhususkan bagi mahasiswa FSUI saja. Kegiatan ini terutama pada masa liburan. Bedanya dengan kelompok yang ada, gagasan ini terutama ditekankan pada perlunya memberikan kesempatan pada mereka yang sebelumnya pernah keluyuran , untuk melihat dari dekat tanah airnya. Namun pada akhirnya usaha ini gagal karena ada kesalahan teknis pada saat akan diadakan pendeklarasian di Cibeureum pada November 1964. Meskipun usaha pertama gagal, para perintis ini tidak menyerah. Sementara mematangkan ide, mereka bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Dan pada waktu itu segala yang borjuis, habis diganyang. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. MAPALA merupakan singkatan dari MAHASISWA PENCINTA ALAM. Dan "Prajnaparamita" berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Dewi Prajnaparamita juga menjadi lambang dari senat FSUI saat itu. Lambang yang digunakan adalah gambar dua telapak kaki dengan tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA dibawahnya. Telapak kaki kiri terletak lebih kedepan dari telapak kaki kanan. Hal ini melambangkan kehadiran di alam bebas dalam bentuk penjelajahan dan sebagainya. Selain itu lambang telapak kaki ini juga diilhami penggunaan tapak kaki oleh raaja Purnawarman dalam prasasti – prasastinya yang dapat diartikan lambang kebesaran. Dibawah tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA ditambah tulisan FSUI yang menunjukkan tempat bernaungnya organisasi ini. Pada tanggal 11 Desember pukul 06.30 semua peserta yang mencapai lebih dari 30 orang berkumpul di lapangan Banteng dan berangkat. Pada pukul 11.00, mulailah rombongan mendaki lereng – lereng terjal dari bukit kapur Ciampea. Hari yang panas waktu itu membuat beberapa peserta ”anak mami” kelelahan dan merepotkan panitia. Jam 14.30 peserta tiba di bukit. Tenda segera didirikan. Pada malam hari angin bertiup sangat kencang dan hujan lebat. Tenda banyak yang roboh, sehingga peserta banyak yang berteduh di gubuk yang kebetulan ada disitu. Hampir saja peresmian Mapala dibatalkan karena sampai dengan jam 20.00 hujan masih lebat. Namun akhirnya pada pukul 21.00 hujan berhenti dan bulan bersinar terang. Semua peserta yang basah kuyup dikumpulkan untuk mengadakan rapat pembentukan MAPALA yang dipimpin Sdr. Soe. Ketika rapat sedang berjalan, tiba – tiba datang tamu dari Jakarta yaitu Bpk Soemadio, Bpk soemadjito dan Mang Jugo Sarijun yang sengaja datang untuk menyaksikan upacara peresmian MAPALA. Sdr Maulana terpilih sebagai ketua pertama dan formatur tunggal. Sampai dengan tahun pertama, Mapala telah memiliki 12 orang anggota yaitu AS Udin, Rahaju, Surtiarti, Ratnaesih, Endang Puspita, Mayangsari, Soe Hok Gie, Judi Hidajat, Edhi Wuryantoro, Koy Gandasuteja, Wahjono, dan Abdurrahman. Sampai tahun 1970-an, di beberapa fakultas di UI terdapat beberapa organisasi pencinta alam antara lain : Ikatan Mahasiswa Pencinta alam (IMPALA) di Psikologi, Climbing And Tracking Club (CATAC) di Ekonomi, Yellow Xappa Student Family (Yexastufa) di Teknik, Climbing And Tacking (CAT) di Kedokteran dll. Setelah berjalan beberapa waktu di akultasnya masing–masing, organisasi–organisasi ini merasakan dan menyadari bahwa Mapala UI yang telah terbentuk dan disetujui oleh Rektor UI (Prof. DR. Sumantri Brojonegoro (Alm.)) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa adalah milik seluruh mahasiswa UI. Oleh karena itu organisasi–organisasi tersebut setuju untuk bersatu dalam satu wadah yaitu MAPALA UI. Kemudian pada tahun 1970, WANADRI memprakarsai Gladian Nasional yang merupakan pertemuan akbar pecinta alam se Indonesia. Menurut bahasa berasal dari “gladi” (bahasa Jawa) yang mempunyai arti “latihan” sehingga Gladian Nasional bisa diartikan sebagai “ajang latihan” bagi para pecinta alam guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan dalam bidang kepecintaalaman dan kegiatan alam bebas. Gladian Nasional juga berperan sebagai wahana silaturahmi dan berbagi pengetahuan antar perkumpulan pecinta alam se Indonesia. Pada awalnya kegiatan ini diadakan oleh WANADRI sebagai ajang latihan bagi anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam gladian ini antara lain mountaineering, pengenalan SAR, acara kekeluargaan, serta tukar menukar informasi dan pengalaman. Selain anggota WANADRI dalam kegiatan ini diundang pula beberapa perhimpunan- perhimpunan pencinta alam dan pendaki gunung yang ada di Jawa. Dalam acara gladian yang kemudian dikenal sebagai Gladian Nasional I ini hadir 109 orang dari 18 perhimpunan. Pada kesempatan itu pula akhirnya disepakati bersama untuk menyelenggarakan gladian-gladian selanjutnya sebagai media pertemuan dan latihan pencinta alam dan pendaki gunung di Indonesia. Salah satu Gladian Nasional yang fenomenal adalah Gladian Nasional IV yang berlangsung di Sulawesi Selatan di mana dalam gladian ini berhasil disepakati KODE ETIK PENCINTA ALAM INDONESIA yang masih dipergunakan oleh berbagai perkumpulan pecinta alam di Indonesia hingga sekarang. Meskipun tidak rutin dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu namun Gladian Nasional telah berhasil dilaksanakan beberapa kali. Berikut adalah daftar pelaksanaan Gladian Nasional: * Gladian Nasional I diselenggarakan oleh WANADRI pada tanggal 25 – 29 Februari 1970 di tebing Citatah Jawa Barat. * Gladian Nasional II diselenggarakan pada tahun 1971 di Malang Jawa Timur yang diselenggarakan oleh TMS 7 Malang. * Gladian Nasional III diselenggarakan di Pantai Carita, Labuhan, Jawa Barat pada bulan Desember 1972. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Pencinta alam dan Penjelajah Alam se-Jakarta. * Gladian Nasional IV diselenggarakan di P. Lae-Lae dan Tana Toraja Sulawesi Selatan pada bulan Januari 1974. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Kerja sama Club Antarmaja Pencinta Alam se-UjungPandang. Dalam gladian IV yang dihadiri oleh 44 perhimpunan organisasi pecinta alam ini berhasil menyepakati Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang masih dipergunakan hingga sekarang. * Gladian Nasional V diselenggarakan di Jawa Barat pada bulan Mei 1978. Gladian ini semula direncanakan dilaksanakan pada tahun 1974 namun baru bisa berhasil diselenggarakan pada tahun 1978 oleh WANADRI bekerja sama dengan berbagai perhimpunan organisasi Pecinta Alam (dan sejenisnya) se Jawa Barat. * Gladian Nasional VII diselenggarakan di Kalimantan Tengah. * Gladian Nasional IX dilaksanakan di Lampung pada bulan Januari 1989. * Gladian Nasional X diselenggarakan di Jawa Barat pada tanggal 5–10 September 1994. * Gladian Nasional XI dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 4–11 Agustus 1996. * Gladian Nasional XII dilaksanakan di Jawa Timur dari tanggal 28 Mei- 5 Juni 2001. * Gladian Nasional XIII direncanakan dilaksanakan pada tanggal 7-17 Agustus 2009 di Mataram Nusa Tenggara Barat. Sedangkan divisi pemanjatan tebing mencatat pada tahun 1977, Skygers Amateur Rock Climbing Group didirikan di Bandung oleh Harry Suliztiaito, Agus Resmonohadi, Heri Hermanu, Deddy Hikmat. Inilah awal tersebarnya kegiatan panjat tebing di Indonesia
sumber : Ahmad Deliar Nur & berbagai sumber
The Rise of Sriwijaya Empire
Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan nama suku Sakala Bhra ( purba ) yang berarti Titisan Dewa , suku ini mendiami daerah pegunungan dan lembah bagian utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung .
Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang mendiami kawasan sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian utara sampai ke Lampung kemudian sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti aliran sungai di daerah huluan sumatera selatan yang kemudian di kenal dengan suku SAMANDA_DI_ WAY yang berarti orang yang mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ), suku ini yang kelak kemudian asal mula suku Daya, Komering, Ranau,. ( Van Royen -1927 )
Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai di tinjau dari berbagai segi memikul beban sebagai ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno atau Proto Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komering, didaerah uluan sumatera selatan.
Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat dan sakti , yang bernama JAYA NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA-PUNTA-HYANG yang berarti Maha Raja yang Keramat , sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita kenal gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang mempunyai kesaktian tinggi..
Kerajaan ini kemudian di kenal dengan negeri kedatuan SRIWIJAYA disebut juga dalam kronik ( tulisan ) di negeri china yaitu kerajaan Shi Li Fo Shih
Kerajaan ini setiap tahun nya mengirim utusan ke negeri china tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang pada saat itu di negeri China sedang berkuasa Dinasti Tang ( 618–907 ).
Disebut pada dalm satu tulisan di negeri China bahwa ada kerajaan dari laut china selatan yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok, kerajaan itu bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di transeleterasikan menjadi Sriwijaya.
Pada tahun 671 Masehi seorang pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi kerajaan ini dalam perjalanannya menuju India untuk memperdalam ajaran Budha.
It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kedatuan Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sansekerta , dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , It-Tsing Berangkat menuju tanah Melayu ( Jambi ) dan menetap selama 2 bulan sebelum melanjutkan perjalanan melalui Kedah terus keutara menuju India.
Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat di sayangi dan di sanjung oleh rakyatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arief , bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat. Dengan Kesaktiannya ia dapat mengetahui dan membaca gerak gerik alam, langit, matahari,bulan, bintang , hawa, hujan, angin, batu, tanah dan hewan, sehingga penduduk kedatuan ini menganggap Jaya Naga merupakan sosok titisan Dewa diatas Brahmana yang merupakan perantara manusia dengan sang Ghaib yang diturunkan ke bhumi untuk menjaga dan melindungi pulau surga (Swarna Dwipa). Setiap kata yang diucapkannya merupakan petunjuk, setiap petuah dan nasehat menjadi adat dan istiadat, kebaikannya merupakan anugerah dan kebahagian bagi penduduk dan kemarahan beliau merupakan malapetaka.
Setiap daerah taklukkannya Jaya Naga selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil dari Jurai Tua ( sesepuh masyarakat ) untuk menjadi Datu ( Ratu – pemimpin ) di daerahnya sendiri tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kedatuan Sriwijaya.
Jaya Naga juga mampu menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman atau uluan sumatera selatan yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun suku yang mendiami tiga gunung yang ada yaitu Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit Kaba, System pemerintahan inilah yang kelak menjadi asal mula system pemerintahan Marga yang ada di daerah uluan sumatera selatan.
Kedatuan Sriwijaya terkenal merupakan kerajaan yang makmur dengan hasil alamnya berupa kayu kamper, kayu gaharu, Pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan perlintasan perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam pertapaannya dari India ke China maupun sebaliknya, dan dalam perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi agama Budha di kawasan Asia tenggara terutama daerah semenanjung Selat Malaka dan Selat Sunda terbukti dari catatan It-Tsing, kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000 pendeta Budha, pendeta Budha yang cukup terkenal dari Kedatuan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.
Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar yang melakukan perdagangan dengan India , Melayu dan China . Pedagang dari Tiongkok dagang ke Sriwijaya dengan membawa keramik ,porselein dan sutra untuk di tukarkan dengan emas, permata dan komoditas lain dari negeri ini yang merupakan tempat dimana komoditas penting pada jaman itu sampai dengan sekarang merupakan kekayaan alam pulau ini sehingga orang pada masa itu menyebut pulau ini dengan Pulau Surga ( Swarna Dwipa ) .
Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai ( kanal-kanal) kecil yang memasuki perkotaan sehingga perahu merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga kerajaan ini terkenal dengan armada kapal – kapal yang kuat dan rapi yang kemudian dapat menguasai seluruh kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda .
Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai yang ada di uluan sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak.
Kondisi seperti ini membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur pulau sumatera berlabuh di pelabuhan Melayu ( Jambi ) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan Palembang.
Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung. Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan kekuatan dari sang Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga ( ibukota kerajaan ) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komering bermuara kurang strategis di pandang dari sudut perdagangan.
Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba). Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut yang terletak di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan kemudian semua penduduk di ikat oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. ( Prasasti Hujung Langit – Lampung Barat )
Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya terkenal akan keberanian, dan kekuatannya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) di daerah palembang sebagai titik temu. Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini adalah dataran tinggi yang merupakan mercu suar atau tempat pintu masuk ke tanjung Palembang yang merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang ada di sumatera.selatan.
Pada peta pantai timur Sumatra purba di tepi pantai timur teluk purba terdapat 2 tanjung yang menjorok jauh kearah laut , kearah utara dengan jambi di ujungnya, dan yang timur menjorok kearah tenggara dengan Palembang berada diujungnya. Tanjung Palembang terbentuk oleh Bukit Siguntang sedang di selatan bukit ini terdapat teluk yang menjorok dalam lagi di mana sungai komering bermuara.
Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa perahu mengikuti perairan. Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran – pertempuran kecil yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah daerah yang di lintasi oleh laskar Kerajaan Sriwijaya.
Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat bangunan atau rumah ( barak ) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2 laksa laskar Sriwijaya , untuk mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit .
Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) dan kemudian menguasai pelabuhan palembang , maka “ pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun 606 Saka ( 23 Maret 684 M ) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan rakyat setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua hasil yang di dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan semua yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikian pula halnya dengan tebat dan telaga agar dapat di pelihara sehingga berguna bagi sekalian makhluk. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang tidak setia, termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak akan menetap lama beliau menambah pesannya : “ Walaupun dia tidak berada di tempat dimanapun dia berada janganlah hendaknya terjadi Curang, Curi, Bunuh dan Zinah di situ. Akhirnya di harapkan doa agar beliau mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi “
( Parasasti Talang Tuo )
Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya terbunuh yang bernama Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah perkasa dapat di di bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat.
Untuk mengingat hal ini maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap para pejabat lokal yang ada di daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kalau tidak maka akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga Batu ).
Batu persumpahan yang dimaksud antara lain berbunyi :
- “……. kamu sekalian, seperti kamu semuanya, anak raja, bupati, panglima Besar,…….hakim pengadilan……kamu sekalian akan dimakan sumpah yang mengutuk kamu. Apabila kamu sekalian tidak setia kepada kami kamu akan dimakan sumpah. ( 1-6 )”.
- “ Apabila kamu berhubungan dengan pendurhaka yang menghianati kami …………orang yang tidak tunduk kepada kami serta kedatuan kami kamu akan di bunuh oleh sumpah kutuk ini. ( 7-8 ) “.
- “ Apabila kamu menabur emas permata untuk meruntuhkan kedatuan kami atau menjalankan tipu muslihat………..dan apabila kamu tidak tunduk kepada negara kedatuan kami maka terkutuklah kamu akan dimakan dibunuh sumpah kutuk. ( 11-12 ) “.
- “ Demikian pula apabila kamu melawan kepada kami di daerah-daerah perbatasan negara kedatuan kami kamu akan dimakan, di bunuh. (13-14).
- “ ……lagi pula kami tetapkan pengangkatan menjadi datu dan mereka yang melindungi sekalian daerah negara kedatuan kami putra mahkota, putra raja kedua, dan pangeran lain yang didudukan dengan pengangkatan menjadi datu, kamu akan dihukum apabila kamu tidak tunduk kepada kami ( 19-20 )”.
Secara Geografis palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas pelayaran di Laut China Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal – kapal berlayar singgah di kerajaan Melayu ( Jambi ) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai timur sumatera kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke utara tanpa singgah lagi di pelabuhan palembang.
Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk menaklukan kerajaan Melayu ( Jambi ) untuk di jadikan wilayah kekuasaan kedatuan Sriwijaya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu, yang dari semula tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.
Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus saja terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di lakukan oleh seorang perkasa sekalipun dapat di tumpas . kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan Sumpah maka di pahatlah prasasti Karang Brahi.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui selat Bangka . Oleh karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah menaklukan kerajaan Bangka, Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya ke Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda, penguasa lokal dan rakyatnya harus di beri peringatan dan di ikat dengan persumpahan untuk selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga. Demikianlah pada akhirnya : “ Pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka atau tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan Batu Prasasti Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan segera menuju Bumi Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada daerah yang berdiri sendiri di pantai timur Sumatera Bagian Selatan, untuk kepentingan keamanan penguasaan laut selatan, kerajaan itu harus pula di tundukan. Kerajaan itu sebenarnya berasal dari satu rumpun wangsa Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti ( Way Seputih ) di lampung Selatan. Sama dengan peristiwa- peristiwa lainnya, setiap beliau meninggalkan daerah – daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan sumpah setia terlebih dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti Palas Pasemah.
Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu Dapunta Sailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari data yang ada tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian utara.
Pada saat inilah di nyatakan oleh berita di neger China ( Dinasti Tang ) bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian masing- masing mempunyai pemerintahan sendiri. ( Kronik Dinasti Tang ).
Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah harus melaksanakan perintah Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi di Ligor ( Muangthai ) candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari Wangsa Sailendra.
Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk melanjutkan memerintah Kedatuan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan Laut China Selatan .
Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya.
Masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga Silap atau hilang secara misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya Naga bersedih sehingga mengasingkan diri ke Gunung Seminung untuk bertapa sampai akhir hayatnya.( Legenda Minanga Sigonong-Gonong )
SRIWIJAYA DI SWARNABHUMI……………
Sejak pertapaan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Gunung Seminung sekitar tahun 742 sebagian besar anggota pasukan dan rombongan yang mengikutinya terpecah masing-masing mencari tempat sendiri-sendiri, ada yang kemudian mendirikan Minanga baru dan ada juga yang lari kepulau jawa. Sementara kota Minanga sendiri menjadi mitos kota yang hilang yang sampai sekarang menjadi suatu kawasan yang paling angker yang di namakan penduduk sekitar menjadi SiGonong-Gonong yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang tanpa seijin ghaib disana , siapa yang masuk ke daerah itu tanpa izin akan ikut hilang tak tampak oleh kasat mata.( Legenda Minanga sigonong-gonong ).
Sementara itu menurut analisis Paleografi , teluk Minanga di mana sungai komering bermuara telah mengalami pendangkalan akibat dari pengendapan lumpur dari sungai komering. Pantai Timur di bagian sumatera selatan mengalami pendakalan 125 meter per tahun, dimana sejak keberangkatan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga ke Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) pada tahun 683 Masehi sampai dengan kepulangan tahun 742 Masehi Teluk Minanga telah mendangkal sepanjang 6 kilometer. Membuat kedudukan Minanga sudah jauh dari garis pantai timur Sumaetra , dengan posisi seperti itu maka Kerajaan Sriwijaya tidak mungkin lagi mengawasi daerah-daerah bawahannya secara efektif, sehingga lambat laun daerah yang ditaklukan dan diikat dengan persumpahan itu menjadi lepas berdiri sendiri. Daerah daerah tersebut kemudian membentuk pemerintahan lokal yang berdiri sendiri, palembang kemudian menjadi kota pelabuhan yang berdiri sendiri yang terkenal dengan nama Swarna Bhumi , Jambi menjadi kerajaan lokal dan menjadi kota pelabuhan terbesar pada saat itu. Sementara daerah uluan di sumatera selatan mereka membuat kelompok masyarakat seketurunan ( kepuhyangan ) dan hidup menyebar di pedalaman sumatera selatan yang di kenal dengan masyarakat hukum dengan azas pertalian darah ( Geneologische Rechtgemeenschap ) Dalam masyarakat hukum dengan azas seperti ini maka kekuasaan dengan sendirinya di pegang oleh seorang “Jurai Tua” yang di sebut Pase-lurah atau Pasirah yang dikenal sekarang ini yang berkedudukan sebagai pemimpin ( primus inter pares ). Kewajiban pemimpin tidak lebih dari memelihara dan mempertahankan hukum yang mereka sepakati dan di jadikan adat bagi sesama mereka, menjaga batas – batas wilayah dan menjaga batas-batas antara yang boleh dan yang terlarang.
Di daaerah Batanghari Komring kelompok seketurunan ini menempati daerah yang disebut “ Morga “ di kepalai oleh seorang sepuh yang berfungsi sebagai Ratu Morga dengan gelar KAI-PATI . Di daerah Rejang kelompok seketurunan ini dinamai Petulai yang dipimpin seorang sesepuh dengan sebutan DEPATI . ( Marga di Bumi Sriwijaya – H.M.Arlan Ismail, SH – 2005 ).
Masa inilah atau selama 218 tahun terjadi kekosongan pemerintahan di Sriwijaya , tercatat oleh berita di negeri China, Sriwijaya tidak pernah lagi mengirim utusan ke negeri China sejak tahun 742 Masehi ( Kronik Dinasti Tang ) sampai tahun 960 Masehi
Sementara itu di Jawa Tengah berkembang dinasti Dapunta Sailendra yang merupakan Raja-Raja dari Bumi Sriwijaya yang diutus Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menaklukan Bhumi Jawa.
Nama Dapunta Sailendra di kumandangkan dimana-dimana sementara Dapunta Hyang Sri Jaya Naga raja Sriwijaya tetap di Puja-Puja oleh Dinasti Sailendra..
Pada tahun 775 Masehi terpahat sebuah prasasti di Ligor ( Muangthai ) menandai peresmian sebuah bangunan candi yang terdiri beberapa bagian yang intinya adalah pujian terhadap Raja Sriwijaya yang dikatakan laksana bulan di musim rontok yang sinarnya menyuramkan segala sinar bintang, raja yang berkuasa gemilang dan yang paling baik di antara segenap raja dipermukaan Bhumi, kemudian menyatakan bahwa raja Sriwijaya yang memerintahkan untuk membangun batu Trisamaya Caitya untuk Padmapani, Sakyamuni dan Wajrapani guna di persembahkan kepada semuaJina yang menduduki sepuluh tempat diangkasa dan memerintahkan Jayanta membangun Stupa Trayamasi.kemudian yang terakhir menyatakan raja Wisnu dari wangsa sailendra yang berkuasa pada masa itu kemudian di tutup dengan pujian kembali kepada raja Sriwijaya yang dikatakan menyerupai Indra. ( Prasasti Ligor–Muangthai ).
Pangeran Balaputra Dewa merupakan putera bungsu Raja Samaragrawira dari Wangsa Sailendra kehilangan haknya untuk memerintah negeri di Bhumi Jawa di karenakan putera tertua adalah Pangeran Samaratungga sehingga Pangeran Samaratungga yang berhak memimpin kerajaan di Bhumi Jawa, yang kemudian Jatiningrat menikah dengan Pramodawardhani putri Raja Samaratungga sehingga kemudian mewarisi takhta atas kerajaan di Bhumi Jawa.
Pada tahun 850 Masehi Balaputra Dewa dan pengikutnya kembali ke daerah Sumatera Selatan untuk malakukan pertapaan di Gunung Seminung guna memperdalam ilmu dan kesaktian. Sepanjang perjalanan di daerah uluan sumatera selatan sampai ke gunung Seminung Balaputra Dewa di sambut baik oleh penduduk di wilayah bekas kedatuan Sriwijaya karena Balaputra Dewa merupakan keturunan dari wangsa Sailendra Raja-Raja di Bhumi Jawa yang berasal dari Bumi Sriwijaya yang mereka anggap sebagai titisan Jaya Naga sang Maha Raja yang mereka Puja Puja selama ini. Pada saat selesai dari pertapaannya Balaputra Dewa diangkat oleh para sesepuh adat yang terdiri dari pemimpin – pemimpin kelompok Marga untuk menjadi Ratu dan kembali mempersatukan wilayah-wilayah kerajaan Sriwijaya yang telah berdiri sendiri akibat kekosongan pemerintahan selama periode 117 tahun sejak di tinggal Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bertapa dan menghilang di Gunung Seminung, dimana daerah-daerah itu hanya di ikat oleh sumpah setia yang mereka percayai selama ini sebagai alat pemersatu semua rumpun suku..
Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 – 850, pemerintahan Jambi menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China pada tahun 853 Masehi.
Kemudian Balaputra Dewa dengan cepat dapat membangun kejayaan kerajaan Sriwijaya kembali yang berpusat di Palembang dengan dukungan oleh masyarakat di bekas wilayah Kedatuan Sriwijaya . Bahasa yang di pakai oleh kerajaan ini yaitu bahasa Sansekerta. Hal ini yang kemudian membuat kerajaan di Jambi kawatir akan penguasaan kembali oleh dinasti Sailendra sehingga kerajaan Jambi mengirim utusan ke negeri China pada tahun 871 untuk mendapatkan perlingdungan dari Negeri China namun hal ini berlangsung tak lama, kemudian pasukan Balaputra Dewa dapat menguasai Jambi , adapun politik dalam negeri yang selalu dipakai sebagai alat persatuan untuk wilayah-wilayah taklukan kerajaan ini memakai nama Sriwijaya.
Setelah menguasai pulau sumatera sampai ke langkasuka dan keddah semakin kuatlah dinasti Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai kerajaan maritim di pantai timur Sumatera . Dinasti Balaputera Dewa di Swarna Bhumi meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan Sriwijaya di abad yang sama.[16]
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan dinasti Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat Palembang dan mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Dinasti Balaputra Dewa di Swarna Bhumi juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Dinasti Balaputra Dewa juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti tertahun 860 Masehi mencatat bahwa raja Balaputra Dewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda, Pala.
Hubungan dengan dinasti Cola di India selatan di bawah pemerintahan Raja Kesawariwarman Rajaraja pada mulanya cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.
Pada tahun 960 Masehi Raja Sri Udayadityawarman yang merupakan keturunan dari Balaputra Dewa dari Dinasti Sailendra yang pada saat itu memerintah Sriwijaya di SwarnaBhumi mengirim utusan ke China dan mengirimkan berita telah kembali kerajaan Sriwijaya penguasa laut China Selatan yang berada di Swarna Dwipa ( Pulau Sumatera ) dan beribukota di Swarna Bhumi ( Palembang ) , kerajaan ini kemudian terkenal di China dengan nama San-Fo-Tsi yang di artikan Sriwijaya di Swarna Bhumi.
Pada tahun 962 datang lagi utusan kerajaan San-Fo-Tsi di bawah dinasti Sailendra yang merupakan keturunan Raja Balaputra Dewa ke Tiongkok berturut-turut sampai dengan tahun 1097 masehi.
Pada tahun 992 mulai terjadi peperangan antara Dinasti Sailendra di Swarna Bhumi dengan dinasti Sanjaya penguasa Bhumi Jawa. Pada masa itu yang memerintah di Bhumi Jawa adalah Raja Dharmawangsa dari dinasti Sanjaya sedang di San-Fo-Tsi yang memerintah adalah Raja Sri Cudamaniwarmadewa keturunan Balaputra Dewa dari Dinasti Sailendra. Kemudian Armada pasukan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) dapat memukul mundur pasukan Raja Dharmawangsa.
Kemudian pada tahun 1003 Raja Sri Cudamaniwarmadewa dari Sriwijaya San-Fo-Tsi mengirim dua orang utusan ke negeri China untuk mempersembahkan upeti pada Kaisar.. Kedua utusan ini menceritakan bahwa di negerinya telah selesai di bangun sebuah candi Budha tempat berdoa , dan mendoakan agar Kaisar di karuniai panjang usia, kemudian kaisar memberikan nama Candi tersebut dengan Cheng-Tien-Wan-Show dan memberikan hadiah Lonceng untuk Candi tersebut.
Pada tahun 1006 Masehi Raja Sri Cudamaniwarmadewa di gantikan oleh penerusnya yaitu Raja Sri Marawijaya Tunggawarman dari Dinasti Sailendra dan menghadiahkan sebuah desa sebagai persembahan kepada Budha dalam Wihara yang di bangun oleh ayahnya Raja Sri Cudamaniwarmadewa .
Tahun 1012 Raja Kasawariwarman Rajaraja Mangkat, kemudian di gantikan putranya yang bernama Rajendra Cola naik tahta untuk memerintah kerajaan Cola Mandala dari India Selatan, yang kemudian membuat politik kerajaan Cola Mandala dengan San-Fo-Tsi mulai berubah.
Pada Tahun 1017 Masehi Raja Rajendra Cola mengirim Bala tentara menyerbu Keddah yang merupakan salah satu pelabuhan yang ada di bawah Kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) serangan ini dapat di patahkan oleh armada-armada laut kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) .
Pada tahun 1025 Masehi Raja Marawijaya Tunggawarman di gantikan oleh Putranya yaitu Pangeran Sangrama Wijaya Tunggawarman , pada tahun inilah permusuhan Kerajaan Cola Mandala dengan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) mencapai puncaknya, dimana Kerajaan Cola Mandala di pimpin oleh Raja Rajendra Cola menyerbu secara besar-besaran terhadap wilayah Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) adapun daerah yang di serbu tersebut antara lain : ibukota Sriwijaya ( Palembang ), Melayu ( Jambi ), Ilamuri ( Lamuri –Aceh ), Manak Kawarna ( Nikobar ), Kadaram ( Keddah ), dan berhasil menangkap Raja Sanggrama Wijaya Tunggawarman di daerah Keddah.
Walaupun demikian kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) tetap berdiri yang kemudian menunjuk penerus Tahta Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) adalah Raja Dewa Kulotungga dari dinasti Sailendra. Meskipun invasi Raja Rajendra Cola tidak berhasil sepenuhnya, tetapi invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya ( San Fo Tsi ) yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Pada Tahun 1079 Masehi Raja Dewa Kulotungga sebagai Raja Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) memperbaiki Candi Tien Ching di Kota Kuang Cho dekat kanton yang merupakan tempat suci di sebelah utara Kanton. Pada tahun 1080 Raja Dewa Kulotungga wafat dan di gantikan oleh puterinya. Kemudian Puteri Raja Dewa Kulotungga menikah dengan salah satu Bangsawan dari Jambi ini tercatat dalam kunjungan Puteri Raja Dewa Kulotungga pada 1097 sudah di dampingi oleh wakil dari kerajaan Chan-Pi ( Jambi ).
Sebagaimana kita ketahui masyarakat di daerah sumatera selatan mempunyai adat bahwa penerus Jurai atau dinasti itu terletak pada anak laki-laki sebagai penerus tahta kerajaan. Sehingga kebiasaan masyarakat sumatera selatan adalah tempat atau ibukota kerajaan mengikuti Jurai penguasa pada saat itu. Pada masa inilah generasi dari wangsa Sailendra di Swarnabhumi berakhir. Kemudian era selanjutnya adalah kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) berpindah pusat pemerintahannya ke Jambi ini menunjukan bahwa penguasa pada saat itu di pimpin oleh Jurai atau dinasti Melayu dengan gelar Mauli Warmadewa yang berasal dari kata Tamil yang berarti Mahkota Raja-Raja yang menandakan identitas raja-raja dari wangsa Melayu di Jambi.
Sriwijaya di Swarnapura………………………….
Pada masa itu system pemerintahan tradisional di sumatera selatan dimana pusat pemerintahan biasanya mengikuti tempat dimana Jurai ( Dinasti=Wangsa ) yang berkuasa itu berasal . Kemudian raja dari Wangsa Melayu di Sriwjaya( San-Fo-Tsi ) yang terkenal pertama adalah Pangeran Suryanarana yang bergelar Mauli Warmadewa..
Sejak Kepemimpinan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) dari wangsa Melayu yang berpusat di Jambi maka Ibukota Pemerintahan pun pindah ke Jambi yang terkenal pada saat itu dengan nama Swarnapura. Kemudian pada masa itu nama ibukota lama ( Palembang ) berubah dari Swarnabhumi menjadi Po-Lin-fong.
Adapun masa pemerintahan Wangsa Melayu di Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) dapat mengembalikan hubungan baik dengan kerajaan Cola Mandala dari India selatan
Pada Tahun 1178 di bawah pemerintahan Raja Sri MahaRaja ( Srimat ) Tri Lokaya Mauli Warmadewa kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) mengirimkan utusan nya ke negeri China yang selama 59 tahun terhenti sejak tahun 1097 dengan membawa berita seperti tertulis dalam Ling-Wai-Taiwa yang di beritakan oleh Cu-Ku-Fei bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya ( San Fo Tsi ) dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) telah membawahi 15 negeri di laut selatan antara lain :
- Pong-Pong ( Pahang ),Tong Ya Nong ( Trenggano ),Ling Ya Si Kia ( Langkasuka ),Kui Lan Tan ( Kelantan ),Fo-Lo-An ( Dungan ), Ji-Li-Tong ( Jelotong ), Tsi Len Mai ( Semang ), Pa Ta ( Batak ), Tan Ma Ling ( Tamalingga ), Ki Lo Hi ( Grahi ), Po-Lin-Pong ( Palembang ), Sin –To ( Sunda ), Kim-Pei ( kampe ), Lan-Ma-li ( Lamuri – Aceh ),Si-Lan ( Sailon ).
Kemudian berturut turut sejak tahun 1178 sampai dengan 1373 Masehi Sriwijaya ( San-Fo-tsi ) seperti yang di beritakan di negeri China adalah beribukota di Jambi .
Pada akhir tahun 1275 tentara Kerajaan Singosari pada masa kepemimpinan Kartanegara mengirim utusan ke Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) untuk mengajak bersama-sama menghadapi pasukan Kubilai Khan dari Mongol dikarenakan utusan Mongol yang bernama Meng Chi yang di utus ke Singosari mendapat perlakuan yang memalukan bagi kerajaan Mongol sehingga membuat Kubilai Khan marah dan bermaksud menyerang kerajaan Singosari.
Utusan Singosari mendapat penolakan dari kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) di karenakan Sriwijaya merupakan sekutu dari Kerajaan China.
Menghadapi kondisi Sriwijaya ( San Fo Tsi ) yang tidak mau membantu Singosari akhirnya Singosari memutuskan untuk menyerang dengan maksud dapat merubah sikap Sriwijaya terhadap kerajaan China. Pada saat yang sama utusan Sriwijaya ( San Fo Tsi ) meminta bantuan ke negeri china atas serangan dari kerajaan Singosari tersebut. Dan kemudianKubilai Khan mulai melancarkan serangan ke Singosari yang membuat pasukan Singosari yang berada di perairan Sriwijaya yang siap untuk menyerang ditarik mundur sehingga San Fo Tsi lepas dari cengkeraman Singosari.
Setelah Singosari meninggalkan SwarnaBhumi , San Fo Tsi tidak mampu lagi mengembalikan kebesaran seperti semula. Dan akhirnya pada tahun 1286 kerajaan San Fo Tsi dapat ditaklukan Singosari.
Pada tahun 1293 dengan kematian Jaya Katuwang, San Fo Tsi lepas dari Singosari dan kembali memperoleh kemerdekaannya. Namun sebelum San Fo Tsi dapat menunjukan kebesarannnya kembali telah disusul dengan adanya invasi Patih Gajah mada di bawah kerajaan Majapahit. Kemudian Majapahit menunjuk Adityawarman untuk memeritah kerajaan Malayupura di Darmasraya ( Prasasti Adityawarman 1347 M )
Pada tahun 1373 datang utusan terakhir dari Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) ke Tiongkok yang menyatakan bahwa negerinya telah terpecah menjadi 3 kerajaan :
1. Mahana Po Lin Fong ( di Palembang )
2. Kerajaan Minangkabau ( di Sumatera Barat )
3. Kerajaan Melayu ( di Darmasraya )
Kemudian tahun selanjutnya ketiga kerajaan tersebut berturut turut mengirmkan utusannya ke negeri china untuk memproklamirkan kerajaan mereka, pada tahun 1374 datang utusan dari kerajaan Mahana Po-Lin-Pong ( Maharaja Palembang ), pada tahun 1375 datang utusan dari kerajaan Minagkabau dibawah Raja Adityawarman, dan kemudian pada tahun 1376 datang pula utusan dari kerajaan Melayu yang berkedudukan di Darmasraya.
Dengan demikian , maka berakhirlah riwayat kerajaan San Fo Tsi yang kita anggap sebagai kelanjutan kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya………….
Berawal di Minanga………………
Berjaya di Palembang ……………….
Berakhir di Jambi……………………….
( H.M. Arlan Ismail,SH – 2003 ).
Raja dalam prasasti Sriwijaya ber-angka 681 Masehi (604 Saka) yang ditemukan di Kedukan Bukit, Palembang. Menurut prasasti itu, Dapunta Hyang yang namanya tak tersebut, naik di samvau (kapal), bertolak dan Minanga Tamwan membawa tentara 20.000 orang. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat yang dibaca sebagai Malayu, Mata Jap, Mata Danau dan terakhir di “mukha Upang”. Upang adalah desa di dekat muara S. Musi. Gelar Dapunta Hyang di Jawa dipakai oleh para pendeta.
Baik pada piagam Talang Tuwo maupun pada piagam Kedukan Bukit, telah kita jumpai gelar dapunta hyang, tanpa mengetahui tepat bagi siapa gelar itu diperuntukkan. Mengingat bahwa menurut berita Tionghoa, dari sejarah Sung banyak keluarga di kerajaan San-fo-ts’i yang bergelar pu, maka gelar dapunta hyang harus diperuntukkan bagi orang yang amat tinggi kedudukannya.
Kehormatan yang amat tinggi itu ditunjukkan dengan bubuhan da-, -ta, dan sebutan hyang. Pemakaian gelar terikat pada waktu clan tempat. Oleh karena itu, mungkin sebutan atau gelar yang sama, berbeda maknanya antara di Jawa dengan di Sumatra. zaman sekarang, kata teuku atau tengku di Aceh clan Persekutuan Tanah Melayu menunjukkan keturunan raja yang masih akrab. Demikian pula, gelar atau sebutan tengku clan ungku di Johor. Tetapi, sebutan tengku atau engku di Minangkabau biara digunakan untuk menyebut seorang guru. Derajatnya sama dengan Pak zaman sekarang di Indonesia, clan chikgu di Singapura. Misalnya, engku Sulaiman (Minangkabau) = chikgu Sulaiman (Singapura) = pak Sulaiman (Indonesia sekarang). Ringkasnya, gelar atau sebutan itu dalam pemakaiannya dapat mengalami perubahan semantik.
Pada piagam dari tahun 860 di Jawa, terdapat gelar dapunta, yakni dapunta Anggada. Contoh lain, dapunta i Panunggalan: yang dipertuan di Panunggalan ; dapunta Marhyang. Dapunta Anggada adalah pembesar biara. Bagaimanapun, dapunta adalah gelar yang berhubungan dengan kehidupan di biara.
Hingga sekarang, menurut De Casparis, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa dapunta itu digunakan sebagai gelar raja. Jika kita memerhatikan piagam lain sebagai analogi, maka berdasarkan analogi itu mungkin dapat diambil kesimpulan. Yang saya maksud ialah gelar yang kedapatan pada piagam Khmer, yang telah diterbitkan oleh Coe&s dalam REEEO. 18, 6 (1918), dan pada piagam Kertanegara yang ditemukan di tepi sungai Langsat. Nama raja Melayu (Sriwijaya) pada piagam Khmer ialah crimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmmadewa, dan pada piagam Kertanagara crima Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Kedua-duanya menggunakan gelar frimat, di India Selatan berarti “tuan”, dan dipakal khusus dalam kehidupan keagamaan. Tetapi gelar crimat itu di wilayah kerajaan Melayu pada tahun 1286 terang digunakan sebagai gelar raja.
Kata crimat sebagai gelar di India Selatan sama tepat dengan kata dapunta di Jawa pada tahun 860. Kedua-duanya digunakan sebagai gelar pembesar biara. Jika kita mengenal crimat Trallokyaraja Maulibhusana Warmmadewa pada piagam Khmer dan crimat Tribhu wanaraja Mauliwarmmadewa pada. piagam Kertanagara, maka pada piagam Talang Tuwo, kita mengenal dapunta hyang Sri Jayanaga. Dapunta hyang memberikan pesan kepada segenap rakyat untuk menikmati hadiah taman.
Hingga sekarang, orang berpendapat bahwa. piagam Talang Tuwo adalah piagam Sriwijaya, dan hadiah taman itu diberikan oleh raja Sriwijaya. Kiranya, yang memberi pesan ialah raja Sriwijaya. Yang berpesan adalah orang yang bergelar dapunta hyang. Segala puji-pujian yang muluk dan doa diperuntukkan bagi dapunta hyang, yang memberi hadiah taman. Jadi, logisnya dapunta hyang adalah gelar raja Sriwijaya. Pada piagam Talang Tuwo itu, yang bergelar dapunta hyang, ialah Sri Jayanaga (ca). Jadi, Sri Jayanaga adalah raja Sriwijaya pada. tahun 684. Pada piagam Kedukan Bukit, juga disebut dapunta hyang tanpa diikuti nama. Sama dengan dapunta hyang pada piagam Talang Tuwo baris 2. Mengingat bahwa selisih waktu antara piagam Kedukan Bukit dan piagam Talang Tuwo hanya satu tahun saja, maka kiranya dapunta hyang pada. Kedukan Bukit itu adalah dapunta hyang Sri Jayanaga juga.
Andaikata dapunta hyangpada piagam Kedukan Bukit itu hanya gelar kepala biara, seperti dapunta. Anggada, maka agak aneh bahwa kepala biara ikut campur dengan urusan ketentaraan. Juga, (pada plagarn. Talang Tuwo) agak aneh bahwa kepala biara memberikan hadiah taman (tidak hanya satu) kepada. masyarakat. Biasanya kepala biara malah mendapat hadiah dari raja atau pembesar lainnya. Yang menimbulkan dugaan bahwa dapunta hyang adalah kepala biara, kecuali perbandingan dengan dapunta pada piagam Jawa Kuno, juga penemuan pecahan piagam, di mana terdapat pecahan kalimat yang berbunyi: wihara ini diwanua ini. Sudan jelas bahwa Dapunta Hyang datang di Matadanau untuk membuat wanua. Dari pecahan piagam tersebut, nyata bahwa di wanua itu terdapat biara. Berdasarkan jalan pikiran di atas, maka biara itu adalah hadiah raja Sriwijaya, yang bergelar dapunta hyang.
Dari pelbagai piagam, nyata sekah bahwa raja-raja Sriwijaya sikapnya sangat baik terhadap agama. Budha, bahkan menjadi promotor untuk kesuburan agama tersebut. Setidak-tidaknya, raja Sriwijaya menjadi pelindungnya, jika tidak langsung turut campur dalam urusan agama secara aktif.
Pun, dalam piagam Nalanda dinyatakan bahwa Balaputra, dewa yang menyebut dirinya Suwarnadwipadhiparnahraja, keturunan Yawabhumipalah, mendirikan sebuah wihara di Nalanda. Meskipun menurut tafsiran soal mendirikan biara itu mempunyai maksud politik, yakni untuk mengeratkan persahabatan dan kemudian untuk memperoleh bantuan dari India, namun ditinjau dari sudut keagamaan, hadiah biara itu menunjukkan kecenderungan raja Sriwijaya kepada agama Budha.
Pada charter Leiden, yang tertulis dalam bahasa Tamil, dinyatakan juga bahwa cri Marawijayotunggawarman, putra raja Cudamaniwarman keturunan Sailendra, raja Kataha dan Sriwijaya, menghadiahkan sebuah desa di Nagippattana. Ayahnya menghadiahkan sebuah biara yang diberi nama Cudamantwarmanwihara. Hadiah itu diberikan pada tahun pertama pemerintahan raja Cola Rajaraja I (1005/1006). Dalam persahabatannya dengan Tiongkok, raja Sanfo-ts’i, Ti-hua-ka-lo (Dewa Kalottungga), memperbaiki candi Tien Ching di Kanton dan menghadiahkan 400.000 uang emas, yang kemudian digunakan untuk membeli ladang padi guna membina candi dan Para pendeta di biara. Raja San-fo-ts’i, Ti-hua-ka-lo, mendapat julukan jenderal besar yang menyokong pembaharuan ibadah dan keutamaan. Perbaikan candi Tien-Ching dilakukan pada tahun 1079.
Dari contoh-contoh di atas, terbukti bahwa raja-raja Sriwijaya sering menghadiahkan biara untuk kepentingan kehidupan keagamaan di luar negeri. Tidaklah aneh jika raja Sriwijaya juga menghadiahkan sebuah biara di negerinya sendiri yang diperingati pada pecahan piagam yang terdapat di Telaga Batu, tempat dapunta hyang mendirikan wanua. Pemberian hadiah biara bertalian dengan perjalanan jaya yang dilakukan oleh Dapunta Hyang dari Muara Tebo atas kemenangan terhadap kerajaan Melayu, dengan diikuti oleh dua puluh ribu tentara.
Pembangunan biara yang demikian adalah gejala biara. Sebuah manifestasi rasa terima kasih. Pembangunan candi Tara di Kalasan pada tahun 778 juga bertepatan dengan munculnya rajakula Sailendra Pancapana Panangkaran dan berhentinya rajakula Sanjaya, yang menggunakan perhitungan tarikh Sanjaya. Piagam yang rnenggunakan tarikh Sanjaya yang terakhir ialah piagam Taji Gunung (O.J.G. XXXVI). Pembangunan bangunan suci sebagai manifestasi rasa terima kasih seorang raja yang demikian banyak dilakukan di luar negeri.
sumber :mikoto, dipi, indonesiaindonesia.com
How to Shop for a Digital Camera
Shop for a digital camera today and you'll be overwhelmed with the choices available. Whatever your budget, you'll find dozens of cameras available at your fingertips. Some have similar features, some are small, others are clunky, and you can even buy one in your favorite color.
How do you pick the digital camera that's right for you? Here are 5 things we suggest you consider before making your choice.
Whatever camera you're using, you can take good pictures by knowing a few basic guidelines and some pro-level tips. Get them from "Shoot Digital Pics Like the Pros.
To create a shortlist of digital cameras, here are the top 5 things to consider:
1. Your budget
Decide how much you're willing or able to spend on your new camera, and limit your research to cameras within that budget. Why waste your time oohing and aaahing over the latest coolest gadget only to discover that it's beyond your means? Now you can look at the cameras within your budget. The next thing to consider is...
2. Your photography needs
What types of pictures will you be taking - portraits? landscapes? sports pictures? indoor or outdoor? The answer to this question will help you determine which features are important for you. If you'll mainly be taking snapshots of your children, you'll probably want a camera with face recognition feature and easy red-eye reduction. On the other hand, if you're always trying to capture action shots from your son's soccer game, you'll want a camera with high-speed burst shooting.
3. How you print your pictures
You also need to ask yourself how you print your pictures. Do you make 4 x 6-inch prints at home or at the drugstore? Then you won't need a camera with huge amounts of megapixels. On the other hand, if you sometimes make poster-sized prints, then look for a minimum of 10 megapixels. If you don't even print your pictures but share them online and via email, you need even less.
4. Who uses the camera
Will your spouse, children or co-workers be using the camera as well? Then you'll need a camera that's easy enough for them to use. Digital cameras that offer automatic program settings are easy enough even for children to use. Image stabilization also comes in handy when young ones or amateurs use the camera.
5. How serious you are with digital photography
Do you foresee yourself growing beyond a digital photography enthusiast to possibly becoming semi-professional? Then look for a camera with features that will grow with your skills. For example, a digital camera which allows you to make your own aperture, shutter speed, focus and other settings will give you enough room to experiment.
We suggest you use this guide to make a shortlist of digital cameras, and then head to the nearest electronics shop and look at each of the shortlisted cameras in person. Note how each camera feels in your hand, how easy it is for you to reach the buttons and manipulate them, and how solid the camera feels.
A camera can only do so much. The quality of a picture still depends on the person taking it. If you're serious about taking good digital pictures, download you copy of this digital photography report. This free report will give you tips on how to take digital pictures like a professional. Get it now.
Gladian Nasional Pecinta Alam IV yang dilaksanakan di Pulau Lae lae dan Tana Toraja pada bulan Januari 1974 berhasil menyepakati Kode Etik Pecinta Alam Indonesia. Gladian ini diselenggarakan oleh Badan Kerja sama Club Antarmaja pencinta Alam se-Ujung Pandang dan diikuti oleh 44 perhimpunan pecinta alam se Indonesia.
Bunyi dari kode etik pecinta alam Indonesia adalah sebagai berikut:
Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
Pecinta Alam Indonesia adalah bagian dari masyarakat
Indonesia sadar akan tanggung jawab kepada Tuhan, bangsa, dan
tanah air
Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam adalah sebagian
dari makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah yang Mahakuasa
Sesuai dengan hakekat di atas, kami dengan kesadaran
menyatakan :
1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya.
3. Mengabdi kepada bangsa dan tanah air.
4. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dan martabatnya.
5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam sesuai dengan azas pecinta alam.
6. Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, bangsa dan tanah air.
7. Selesai
Disyahkan bersama dalam
Gladian ke-4
Ujung Pandang, 1974