Nabi Muhammad saw bersabda, " Aku tinggalkan dua perkara, jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah (Al Quran) dan sunnah rasul (Al Hadits).
Umat Islam pada umumnya sangat kurang memahami kedua hal di atas. Hal itu dikarenakan sulitnya mencari kitab-kitab hadits yang lengkap.
Anda ingin mempalajari kitab hadits lengkap secara mandiri dengan sangat mudah? Tak usah khawatir, sekarang sudah ada software yang akan membantu memenuhi keinginan Anda.
Tidak, jika kita memang tidak ingin menulis. Tidak, jika kita memang tidak mampu menulis.
Tidak, jika kita memang bisa berkomunikasi dengan cara yang lain.
Tidak, jika kita memang tidak tahu apa yang harus kita tulis.
Ingat, ini saya tulis hanya karena saya ingin menulis.
Makna kias adalah makna tambahan dari makna yang sebenarnya. Makna kias timbul karena adanya konteks yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia terdapat banyak sekali kata yang bermakna kias, misalnya kata kursi dapat dimaknai sebagai jabatan, dsb.
Ada pembaca yang meminta agar saya menulis tentang judul di atas. Sebenarnya 'kita' dan 'kami' bukanlah kata sapaan tetapi kata ganti orang pertama jamak. Dalam bahasa Arab dan Inggris kedua kata ganti tersebut dianggap sama dan dalam kedua bahasa itu hanya dikenal satu kata ganti saja yaitu 'nahnu' (Arab) dan 'we' (Inggris). Akan tetapi dalam bahasa Indonesia kedua kata ganti tersebut memiliki perbedaan makna. Kalau 'kita' melibatkan orang yang berbicara dan dan yang diajak bicara yakni 'saya' dan 'kamu', sedangkan 'kami' hanya melibatkan orang yang berbicara dan orang-orang lain yang diwakilinya untuk berbicara, tidak melibatkan orang yang diajak bicara.
Kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk menyapa orang lain sebagai pengganti kata 'kamu' agar kalimat yang kita ucapkan terasa lebih sopan. Misalnya, "Apakah kamu akan pergi?" akan terasa lebih sopan bila diucapkan oleh orang yang lebih rendah kedudukannya menjadi "Apakah Bapak akan pergi?". Nah, kata 'bapak' yang ditulis dengan huruf awal kapital itulah yang disebut dengan kata sapaan.
Demikian uraian singkat ini semoga bermanfaat.
Ada beberapa pertanyaan dari para pembaca yang akan kami berikan jawabannya sekaligus di sini.
1. Apa definisi konflik lahir dan konflik batin?
2. Apa perbedaan antara resensi cerpen dan resensi novel?
3. Apa perbedaan antara narasi dan deskripsi?
Jawab:
1. Konflik lahir adalah pertentangan yang terjadi antara tokoh cerita yang satu dan tokoh cerita lainnya. Misalnya, ada seorang ayah tidak merestui putrinya berhubungan dengan seorang laki-laki pilihannya. Konflik batin adalah pertentangan yang terjadi dalam hati dan pikiran seorang tokoh sendiri. Misalnya, ada tokoh ingin membunuh seseorang tetapi dia takut berdosa untuk melakukannya sehingga dia sulit untuk memutuskan apakah dia harus membunuh orang itu atau membiarkannya tetap hidup. Dalam diri tokoh itu ada dorongan untuk berbuat jahat dan dorongan untuk berbuat baik. Semoga jawaban singkat ini bisa dipahami.
2. Secara umum tidak ada perbedaan antara resensi cerpen dan resensi novel. Tapi, perlu diluruskan di sini bahwa yang benar adalah resensi kumpulan cerpen, bukan resensi cerpen. Resensi adalah penilaian baik dan buruknya sebuah buku, bukan hanya sebuah cerpen. Penilaian terhadap sebuah cerpen bisa dikategorikan ke dalam istilah kritik.
Resensi kumpulan cerpen mengulas kelebihan dan kekurangan seluruh cerpen dalam buku itu dilihat dari unsur-unsur instrinsiknya, namun ada penekanan pada salah satu atau beberapa cerpen yang pembahasannya lebih mendalam dan dijadikan acuan untuk membahas cerpen-cerpen lainnya. Adapun resensi novel mengulas kelebihan dan kekurangan seluruh isi novel itu berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya. Dalam pembahasannya, baik kumpulan cerpen maupun novel, perlu adanya perbandingan dengan buku (kumpulan cerpen atau novel) yang lainnya.
3. Narasi itu menceritakan serangkaian kejadian atau peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat yang logis, misalnya, ada seorang anak mengambil uang temannya di kelas lalu teman anak itu melaporkannya kepada salah seorang guru, dan guru itu kemudian memanggil anak yang dituduh mencuri itu, dst., sedangkan deskripsi itu melukiskan sebuah objek (bisa berupa orang, benda, atau tempat) sehingga pembaca bisa membayangkan benda itu seolah-olah ia melihat sendiri benda itu. Dalam penggambaran objek ini tidak ada kejadian yang diceritakan. Jadi, objek yang digambarkan itu merupakan benda yang diam. Kalau deskripsi melukiskan keadaan fisik orang itu, tetapi narasi menceritakan tindakan orang itu.
Demikian jawaban singkat ini semoga cukup memadai.
Link ini kami sediakan untuk para pembaca yang ingin bertanya tentang permasalahan bahasa Indonesia. Caranya:
Kirimkan pertanyaan Anda pada email kami, yaitu abdulhadims@gmail.com,
atau
Kirimkan komentar pada bagian bawah tulisan ini.
Jika Anda ingin menyampaikn saran, kami akan menerimanya dengan senang hati.
Berdasarkan letak kalimat utamanya, paragraf dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu deduktif, induktif, dan gabungan deduktif dan induktif..
1. Paragraf Deduktif
Paragraf deduktif adalah paragraf yang kalimat utamanya terletak di bagian awal paragraf, misalnya:
Sampai hari ke-8, bantuan untuk para korban gempa Yogyakarta belum merata. Hal ini terlihat di beberapa wilayah Bantul dan Jetis. Misalnya, di desa Piungan, sampai saat ini warga desa Piungan hanya makan singkong. Mereka mengambilnya dari beberapa kebun warga. Jika ada warga yang memakan nasi, itu merupakan sisa-sisa beras yang mereka kumpulkan di balik reruntuhan bangunan.
Kalimat utama paragraf di atas adalah Sampai hari ke-8, bantuan untuk para korban gempa Yogyakarta belum merata. Kalimat-kalimat berikutnya merupakan kalimat penjelas dari kalimat utama.
2. Paragraf Induktif
Paragraf induktif adalah paragraf yang kalimat utamanya terletak di bagian akhir paragraf, misalnya:
Kemarau tahun ini cukup panjang. Sebelumnya, pohon-pohon di hutan sebagai penyerap air banyak yang ditebang. Di samping itu, irigasi di desa itu tidak lancar. Ditambah lagi dengan harga pupuk yang semakin mahal dan kurangnya pengetahuan para petani dalam menggarap lahan tanahnya. Karena itu, tidak mengherankan jika panen di desa itu selalu gagal.< Kalimat utama yang terletak di bagian akhir paragraf biasanya berupa kalimat simpulan, dan sering menggunakan kata pernghubung antar kalimat, seperti jadi, dengan demikian, oleh karena itu, akibatnya, akhirnya, begitulah, ds.
3. Paragraf Gabungan Induktif dan Deduktif
Paragraf jenis ini kalimat utamanya terletak di bagian awal dan diulang lagi di bgaian akhir paragraf, dan seringkali pengulangan kalimat itu menggunakan redaksi yang berbeda, misalnya:
Sungguh indah pemandangan alam di lereng gunung Ijen di pagi hari. Pepohonan yang menghijau bagaikan karpet sutera yang membentang menyelimuti tubuh bumi. Awan dan kabut yang tipis keputihan bergerak perlahan melintasi dinding-dinding tebing yang curam. Cahaya matahari yang baru saja memancar dari balik gunung membuat warna pepohonan nampak semakin cerah. Begitulah indahnya pemandangan gunung Ijen ketika pagi hari.
Dalam berbagai surat dinas kita sering menjumpai kalimat penutup surat yang berbunyi sebagai berikut ini.
Kop surat terdiri atas nama lembaga yang menulis surat, alamat lembaga itu, dan nama dua lembaga di atasnya.
Berikut ini contohnya:
Wahai Gadis Jelita!
Saatnya kini kuungkapkan isi hatiku yang paling dalam, karena aku tak mau lagi menyimpan kegelisahan. Kau pasti tidak menyangka dan tidak percaya aku melakukan semua ini. Jangan heran, surat ini kutulis setelah sekian banyak surat kutulis dan tak pernah kuberikan padamu.
Kau mungkin bertanya, "Untuk apa?" Ya, mungkin terasa aneh bagimu, karena kita sering bertemu di kelas, bahkan kalau aku mau, aku bisa memanggilmu kapan saja sesukaku karena aku adalah gurumu. Kita juga sering bercakap, di luar kelas. Kenapa harus menulis surat seperti ini?
Sebenarnya aku hanya ingin menyatakan rasa kekagumanku pada kecantikanmu dan pada kebaikan sikapmu. Kau pasti tidak tahu bahwa wajahmu mirip dengan wajah istriku ketika masih remaja dulu. Tapi, keindahan matamu melebihi keindahan mata siapa pun. Kau sungguh jelita, dan rasanya aku tak mampu melukiskannya dengan kata-kata.
Aku pernah meminta fotomu karena inginnya aku terus-menerus menikmati kecantikanmu, dan tentu saja kau tak akan pernah memberiku. Maafkanlah aku, telah melakukan sesuatu yang kurang terpuji. Tapi, aku ingin memberitahumu, video rekamanmu saat kau membaca puisi Ebiet berjudul 'Menjaring Matahari' masih tersimpan di laptopku dan tak bosan-bosannya aku melihatmu. Sayang, kau kurang menghayati puisi itu. Aku yakin kau kurang memahami teknik membaca puisi.
Aku kadang berharap kau mau membuat remakan lagi setelah aku memberimu teknik membaca puisi yang baik, dan rekaman itu akan kujadikan model yang selalu aku tunjukkan kepada para siswa setiap kali ada pembelajaran membaca puisi. Tapi, aku tidak percaya kau akan mau, karena kau sudah menempuh ujian akhir, yang berarti tak kan ada lagi penilaian. Bukankah kau saat itu mau membuat rekaman itu karena kau sadar bahwa setiap tugas akan diberi penilaian? Kalau sekarang aku memintamu membuat rekaman lagi, kau pasti menganggap aku mengada-ada.
Aku berharap jika suatu saat kau membaca surat ini, kau mau menuliskan sepatah atau dua patah kata untukku.
Aku selalu berdoa semoga kau menemukan pendamping yang benar-benar menjadi idamanmu dan semoga kebahagiaan selalu menyertaimu hidupmu. Selamat jalan, selamat menempuh perjalanan panjang menggapai harapan.
Bahasa dan Sastra Indonesia: BSNP: kebocoran ujian nasional sedikit SMA di Magelang
Apa kabar para siswa SMA? Setelah berjuang keras menaklukkan soal-soal ujian selama lima hari, pasti kalian merasa lelah. Namun demikian, kalian sudah bisa bernafas lega telah melalui serangkaian ujian yang melelahkan itu dengan baik. Bagaimana kira-kira hasilnya? Semoga saja kalian berhasil lulus dengan memuaskan sesuai dengan harapan kita semua. Kalau pun ternyata ada di antara kalian yang gagal, tidak usah berkecil hati karena masih ada kesempatan untuk ujian ulang. Jangan lupa terus berdoa semoga Tuhan senantiasa memberikan pertolongan dalam setiap usaha yang kita lakukan.
Ketika Sutardji Calzoum Bachri (SCB) memproklamasikan Kredo Puisinya: “membebaskan kata dari beban makna, menghancurkan penjajahan gramatika, dan mengembalikan kata pada awalnya, pada mantera” dan coba mengimplementasikan sikap kepenyairannya itu dalam karya, jagat sastra Indonesia–khasnya puisi— seketika seperti dilanda kegandrungan eksperimentasi. Semangat kembali pada tradisi dan kultur etnik –yang dirumuskan Abdul Hadi WM sebagai kembali ke akar kembali ke sumber— laksana memasuki zaman aufklarung: menyebarkan pencerahan betapa sesungguhnya Nusantara punya warisan kultur agung.
Kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak (1973) yang sarat mantera seperti saklar yang mengingatkan sastrawan—penyair pada corak keindonesiaan yang menjelma dengan semangat dan elan baru. Bukankah keindonesiaan terbentuk melalui perjalanan panjang dan rumit proses akulturasi dan inkulturasi etnisitas berhadapan dengan kebudayaan Hindu, Buddha, Islam, dan belakangan Barat? Di sana kultur etnik menjadi akar dengan tradisi sebagai sumber wawasan estetiknya. Kembali ke kultur etnik, kembali ke tradisi, itulah gerakan estetik yang diusung sastrawan tahun 1970-an.
Sutardji Calzoum Bachri dan sastrawan seangkatannya memahami tradisi tidak lagi sebagai sesuatu yang statis, selesai, dan dilupakan yang dikatakan oleh generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dengan “… kami tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan lama sampai ber-kilat dan untuk dibanggakan….” Tradisi bagi sastrawan Angkatan 70-an ini ditempatkan sebagai sesuatu yang dinamis, elastis, terus hidup dan dihidupi masyarakatnya. Maka, ia harus selalu berada dalam semangat melakukan tafsir ulang sesuai dengan keperluan masa kini. Dikatakan Abdul Hadi, tradisi bukan sekadar produk sejarah, melainkan juga sebagai sistem pengetahuan holistik yang berkaitan dengan kehadiran rahasia Yang Transenden dalam kehidupan. Dengan semangat itulah, SCB memperlakukan tradisi Melayu yang melahirkan dan membesarkannya sebagai sumber wawasan estetiknya. Ia menjadi alat kesadaran untuk berbuat—mengungkap-mengucap.
Salah satu sarana untuk mengungkap-mengucap itu adalah puisi. Dan SCB memahami benar, bahwa puisi bermain dalam tataran bahasa dengan kata sebagai intinya. Maka, ia meneroka hakikat kepenyairannya dalam cengkeraman kegelisahan yang hidup yang pencariannya tidak sekadar mencipta ilham atau mengolah kata sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Puisi bukan sekadar menghidupkan kembali bahasa yang sudah usang (arkaik) menjadi lebih segar sebagaimana yang dilakukan Amir Hamzah. Juga tidak sebatas memanfaatkan bahasa sehari-hari sebagai alat ucap yang penuh vitalitas, seperti yang diperlihatkan Chairil Anwar.
Bagi SCB, tugas penyair adalah melakukan penjelajahan, menukik—mengorek sampai ke inti kata. Mencipta kata dan membiarkan menemukan maknanya sendiri. Di sinilah, pesan spiritualitas SCB mengembalikan kata pada mantera akan menyesatkan jika ditafsirkan secara letterlijk, harafiah! Pesan spiritualitasnya mesti dimaknai lebih jauh sebagai salah satu upaya mengembalikan rahasia yang transenden sebagai ruh puisi. Maka, puisi bukan semata-mata deretan kata-kata yang membangun makna sintaksis—semantis, melainkan kata yang dapat memancarkan sihir, ritme yang membangun sugesti, dan ekspresi yang dapat menghidupkan saklar imajinasi, inspiring untuk membawa pembaca—pendengarnya menerbangkan asosiasinya ke wilayah pengalaman spiritualitas masing-masing. Puisi harus menyimpan kekuatan magis yang membetot pembaca—pendengarnya ke dalam wilayah transendensi yang mahaluas, tak terbatas ruang dan waktu.
Di situlah SCB berhasil melampaui vitalitas Chairil Anwar dan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang minta-minta warisan dari kebudayaan dunia. SCB tidak mendurhaka pada Mak Budayanya (Melayu), sekaligus juga tidak bermaksud me-laplap sampai berkilat. Ia membangun wawasan estetiknya dari usaha menafsir ulang tradisi dan sekaligus menghidupinya kembali. Itulah yang dikatakannya sebagai upaya melupa dan mengingat. Dengan begitu, karya-karya SCB laksana simbol perlawanan—pemberontakan estetik pada mitos Chairil Anwar dan sekalian membongkar stagnasi makna metafisik Amir Hamzah, bahkan juga Hamzah Fansuri. Tetapi, ia juga mengenang kembali semangat transendensi sufistik. Begitulah, SCB sesungguhnya coba melupa mantera dan mengingat sihirnya. Ia menghapus pantun dan menorehkan spontanitas sampirannya. Ia juga coba menenggelamkan pencarian dan kerinduan sufistik dan memancarkan semangat spiritualitasnya, penemuannya, dan ekspresi kreatifnya. ***
Harus diakui, pada dasawarsa 1950-an, Ajip Rosidi coba menawarkan kultur keindonesiaan sebagai lahan garapan sastrawan yang kemudian memunculkan begitu banyak kosa-kata bahasa daerah. Tetapi pengucapannya belum lepas dari pengaruh Chairil Anwar dan sastrawan seangkatannya. Seperti Mohammad Yamin yang memperkenalkan tubuh soneta dalam jiwa pantun. Bentuk luar dan kemasannya seolah-olah baru, meskipun isinya belum beranjak dari cengkeraman jiwa yang lama.
Itulah salah satu yang menjadikan akar (kultur ibu—Mak Budaya) dan sumber (tradisi) yang dihidupkan kembali dalam puisi-puisi SCB membawa penyadaran atas keberlimpahan kultur keindonesiaan yang sesungguhnya. Heterogenitas yang sudah mengada sejak lahirnya, bahkan juga sejak dalam kandungan. Di situlah kultur etnik seketika terangkat menjadi kesadaran akan kekayaan kultural. Tradisi serempak jadi bahan pencarian. Tipografi diperlakukan sebagai asesori penting. Kata-kata—bahasa tidak sekadar alat permainan dan sekaligus ukuran kualitas kesastrawanan, melainkan coba didekonstruksi dan dimaknai kembali secara bebas sesuai tuntutan jiwa puisi itu sendiri. Dan manakala SCB harus mempertanggungjawabkan ekspresi puitiknya di depan publik dalam sebuah pementasan, puisi serta-merta menjadi pentas bergengsi. Pembacaan puisi bergerak, membentuk pementasan artistik yang bermartabat. Pembacaan puisi menjadi pagelaran produk budaya yang asyik ditonton!
Dalam pentas dunia, sastra Indonesia kini tak lagi sebagai warga sastra dunia, melainkan menjelma bagian dari sastra dunia itu sendiri. Maka, ketika para pengamat sastra Indonesia –dalam dan luar negeri—secara seksama mencermati karya-karya SCB berikut kiprah kesastrawanannya selama hampir empat dasawarsa ini (Periksa esai-esai dalam buku Raja Mantra Presiden Penyair, Jakarta: Yayasan Panggung Melayu, 2007), Chairil Anwar dan penyair berikutnya mendadak surut ke belakang. Berada dalam cengkeraman ngiau.***
Popo Iskandar mengungkapkan, bahwa eksplorasi SCB lebih mendalam dibandingkan Chairil Anwar. Konteks pernyataan itu tentu saja bukan pada perbedaan zaman, melainkan pada usaha melakukan penggalian pada hakikat kata, mengorek sampai ke inti kata yang kelak bakal menjadi ruh, jiwa, dan tubuh puisi. Itulah semangat penyair yang hidup. Ia bukan penulis puisi yang cukup menderetkan kata-kata yang membangun rangkaian makna. Penyair adalah pencipta dunia lewat kata-kata. Ia juga seorang pesulap, pawang kata-kata yang piawai menyimpan filosofi seninya, estetika, wawasan, elan, bahkan ideologinya tentang kesenian, kemanusiaan, dan kehidupan. “Ia adalah ruh, semangat, mimpi, obsesi, dan igauan dan kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata…” begitulah ucap SCB.
Berbagai tanggapan kemudian bermunculan, tetapi tidak ada yang coba membandingkan reputasi dan kebesaran SCB dengan Chairil Anwar. Bahkan A. Teeuw dan Umar Junus, menyebutkan puisi SCB, seperti POT atau SHANG HAI dan beberapa puisi SCB lainnya yang semodel dengan itu sebagai tak ada artinya. Meski begitu, dalam esainya “Terikat pada Pembebasan Kata” (Tergantung pada Kata, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980) A. Teeuw, menyatakan, “… saya tidak menyangkal pula kekuatan dan keorisinalan pendekatan puisi Sutardji. Dialah yang paling radikal dan berani merombak sistem bahasa dalam perontaannya untuk mencari jejak Tuhan….” Dalam esai itu juga, A. Teeuw menegaskan, bahwa SCB berhasil mencipta sendiri makna kata-kata yang digunakannya di luar konvensi bahasa yang berlaku. Sejumlah penyair senior juga tiba-tiba seperti mengalami sindrom buah apel, yaitu ketika seorang melabeli anggur yang menggantung di atas kepalanya sebagai masam, karena ia tidak sanggup meraihnya.***
Sesungguhnya, sejauh manakah capaian estetik SCB? Relevankah kita mambandingkan monumen yang telah ditancapkan Chairil Anwar atau para penyair lainnya dengan monumen (: capaian estetik) SCB? Jika Dami N. Toda (“SCB: Datu Teknik Perpuisian Indonesia Modern: Studi Bentuk Diksi Puitik O, Amuk, Kapak, 1981”) menempatkan Chairil Anwar sebagai mata kanan dan SCB sebagai mata kiri sastra Indonesia, maka saya –setelah coba mendalami ceruk kedalaman puisi-puisi SCB, coba menangkap makna di balik kesederhanaan dan kelincahpiawaian naratif cerpen-cerpennya, mencermati pandangan kritis para pengamat sastra Indonesia tentang Sutardji Calzoum Bachri dan terhanyut saat menjelajahi filsafat seninya dalam Isyarat (2007), rasanya saya harus berkesimpulan: Sutardji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar! (Oleh Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)
Sumber: http://mahayana-mahadewa.com/?p=459
Oleh: Titon Rahmawan
Budi Darma dalam pengantar atas kumpulan cerpennya yang berjudul ‘Orang-Orang Bloomington’ menyatakan bahwa unsur utama yang paling berperanan dalam sebuah cerita pendek adalah tema, namun apakah tema memegang peranan yang sama esensialnya dalam sebuah sajak? Pertanyaan tersebut cukup sering dilontarkan oleh orang awam yang berminat terhadap karya sastra dan mereka yang ingin mendalami sajak pada khususnya, namun ironisnya pertanyaan itu belum tentu dapat dijawab oleh orang yang mengaku dirinya sebagai seorang penyair sekali pun. Mengapa muncul hal yang demikian adalah dikarenakan oleh begitu banyaknya calon penyair yang sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Para calon penyair itu terlampau sibuk dalam mengolah gagasan-gagasan untuk menjadikan karyanya sebagai sebuah karya yang fenomenal, sehingga terbebani oleh sejumlah misi untuk menyampaikan ’sesuatu’ kepada pembacanya. Sesuatu itu bisa berupa pesan moral, khotbah, protes politik, kajian filsafat, kritik sosial, masalah cinta, masalah keluarga, atau laporan jurnalistik dengan berbagai gaya ungkap, akan tetapi si penyair lupa bahwa sesunguhnya ia tengah menulis sebuah sajak dan bukannya propaganda politik, pamflet, teks iklan, surat cinta atau berita koran. Banyak calon penyair lupa atau tidak tahu bahwa esensi sebuah sajak sesungguhnya bukan pada masalah tema atau gagasan tapi lebih pada kata-kata, sebagaimana ditegaskan oleh Sapardi Djoko Damono salah seorang penyair terkemuka kita bahwa kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi.
Menurut Marjorie Boulton sebagaimana di kutip oleh Prof. M. Atar Semi unsur-unsur pembentuk sajak dapat di lihat dari dua segi yaitu dari bentuk fisik dan bentuk mental. Bentuk fisik itu meliputi tipografi, diksi, irama, intonasi, enjambemen, repetisi dan berbagai perangkat bahasa lainnya, sementara bentuk mental meliputi tema, asosiasi, simbol, pencitraan, dan emosi. Pembahasan atas setiap unsur-unsur dalam sajak adalah hal yang sangat rumit terutama bila kita tidak melihatnya dalam kaitannya dengan unsur-unsur yang lain, karena sebuah sajak merupakan sebuah totalitas yang unikum, akan tetapi kesadaran seorang penyair atas keberadaan kata sebagai unsur yang paling esensial dalam penulisan sajak akan membantu diri si penyair dalam memahami esensi dari proses kreatif penulisan sajak itu sendiri, sekali pun tentu saja seorang penyair dituntut pula memiliki pemahaman yang sama mendalamnya atas unsur-unsur sajak yang lain sehingga ia mampu melahirkan sajak yang bagus dan berhasil.
Perlu dipahami pula bahwa kata-kata di dalam sajak adalah kata-kata yang sama sekali berbeda dengan teks dalam bentuk yang lain. Kata-kata dalam sajak memiliki peran sangat esensial karena ia tidak saja harus mampu menyampaikan gagasan, tetapi juga dituntut untuk mampu menggambarkan imaji sang penyair dan memberikan impresi ke dalam diri pembacanya, karena itu kata-kata dalam puisi lebih mengutamakan intuisi, imajinasi, dan sintesis sebagaimana dapat kita lihat dari pendekatan puisi itu sendiri bertitik tolak dari bentuk organik puisi menurut Herbert Read yang di kutip oleh Prof. M. Atar Semi yang menyampaikan bahwa puisi adalah ‘predominantly intuitive, imaginative, and synthetic’ sementara pilihan kata-kata dalam prosa lebih mengedepankan logika, bersifat konstruktif dan analitis.
Lebih lanjut Atar Semi menyampaikan bahwa intuisi di dalam sajak adalah mengacu pada kemampuan sajak itu untuk menyatakan kebenaran yang dapat diterima secara universal, jadi sajak yang baik mutlak mengandung nilai-nilai kebenaran universal (universal truth). Sementara imajinasi dalam sajak adalah merupakan upaya kreatif untuk memperkuat kesan suatu pengalaman puitik yang hendak disampaikan oleh seorang penyair, dengan kata lain proses penulisan sajak sepenuhnya harus lahir melalui sebuah proses kreatif. Selanjutnya Atar Semi menyatakan bahwa sajak adalah merupakan sebuah sintesis yang mengandung maksud bahwa kata-kata dalam sajak haruslah memiliki keunikan yang tidak langsung mengacu pada sesuatu yang diungkapkannya tapi mengandung pengertian yang luas dan mampu menimbulkan kesan rasa dan daya anggap yang jauh lebih mendalam.
Sapardi Djoko Damono dalam esainya ‘Puisi Indonesia Mutakhir: Beberapa Catatan’ menegaskan pula bahwa kata-kata dalam sajak berfungsi sebagai jembatan penghubung antara gagasan penyair dengan lentik penafsiran pembacanya oleh karena itu kata-kata dalam sajak harus mampu membentangkan panorama keindahan yang ingin dilukiskan lewat intuisi si penyair. Kekuatan kata-kata tidak semata-mata dalam kemampuannya mengkomunikasikan diri tapi terlebih pada kemampuan menciptakan imaji dan impresi yang akan meninggalkan bekas di dalam diri pembacanya, sehingga kesan itu tetap hidup bergema dalam pikiran, bergetar dalam perasaan, yang menyebabkan pembaca tersentuh oleh rasa haru, sedih, atau pun gembira sesuai impresi sajak.
Hal inilah yang sering luput dari perhatian, bahwa kata-kata dalam percakapan sehari-hari yang bermakna denotatif dapat di pakai begitu saja dalam menulis sebuah sajak sehingga impresi yang muncul adalah sebuah realitas yang naif terlalu apa adanya, tak lebih daripada berita di surat kabar. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai hal tersebut dapat kita lihat pada sajak karya Theora Agatha sebagai berikut:
BERITA ATAS NAMA
Televisi bukan lagi saluran mimpi, tapi sudah jadi kegeraman menyesak dada, dan koran bukan semata sumber berita tapi lebih banyak menjual kepedihan.
Coba lihat dan dengarkan;
Berita pagi pukul 6 – atas nama cinta seorang wanita kehilangan nyawa
Berita pagi pukul 7 – atas nama harta 2 orang bersaudara saling aniaya
hingga sampai ajalnya
Breaking news pukul 9 – atas nama dendam 1 keluarga tewas ditikam
Breaking news pukul 11 – atas nama solidaritas 10 buruh tewas
dalam aksi demo yang panas
Berita siang pukul 12 – atas nama demokrasi 2 polisi binasa,
8 mahasiswa terluka,
15 orang lagi tak ketahuan rimbanya
Berita kriminal pukul 20 – atas nama setan seorang wanita tewas dianiaya
dan dimakan dagingnya
Berita kriminal pukul 20 – atas nama kemelaratan seorang bayi dibuang ke
tong sampah oleh orang yang tak mau mengaku
sebagai ibunya
Headline news pukul 21 – atas nama kemanusiaan 500,000 orang dipaksa
mengungsi dari negerinya sendiri, tak terhitung
yang tewas karena lapar dan peperangan
Headline news pukul 21 – atas nama tuhan 80 orang tewas dalam ledakan
1,000 orang tewas dalam kebakaran
dan lebih 1,000,000 orang tewas oleh pembantaian
Atas nama apa lagi kita musti meratap dan menangis?
Jakarta, April 2000
Sajak di atas tak ubahnya sebuah laporan jurnalisme, yang sekali pun berupaya menggambarkan realitas dengan gaya ironis atas kondisi sosial masyarakat namun ia hanya berhenti hanya sebagai sebuah protes namun gagal sebagai sebuah sajak, karena tidak mampu menciptakan imaji dan impresi yang mendalam. Karya di atas tak lebih dari sekedar teks yang cukup dibaca sekali saja dan tidak meninggalkan kesan apa pun dalam diri pembaca, karena tak kita rasakan adanya misteri yang menyelubunginya, semua kata tampil demikian apa adanya. Ia hanya menyentuh bagian permukaan kesadaran kita, hanya berusaha menggugah emosi sejenak tanpa menukik lebih jauh ke dalam hati, karena sajak semacam itu hanya lebih menekankan aspek agitasi, tidak begitu orisinil dalam pengungkapan dan pengucapan, yaitu sebatas kutipan berita surat kabar atau berita televisi yang tampil terlalu apa adanya (naif). Pilihan kata-katanya pun terlampau klise karena banyak mengacu pada pendapat masyarakat umum. Tidak kita rasakan adanya sebuah proses kreatif di dalam penulisannya, dan tidak terasa pula adanya keunikan peran individu dalam mengolah karya itu sehingga karya di atas tak lebih dari sebuah kitsch yang tidak memiliki nilai sastra.
Perlu kita garis bawahi bahwa kata-kata dalam sajak mengemban peran yang lebih majemuk, oleh karenanya pemilihan kata-kata atau diksi dalam sajak haruslah melewati suatu proses kreatif dan bersifat distingtif yang sanggup mengkomunikasikan pikiran dan perasaan sekaligus. Kata-kata tidak berhenti sebagai gagasan namun harus diolah kembali untuk mencapai nilai keindahan atau estetika yang tinggi untuk sanggup melahirkan sebuah impresi yang utuh dan menyentuh ke dalam diri pembaca. Impresi atau kesan dapat diperoleh dari aspek bunyi seperti aliterasi (pengulangan konsonan) atau asonansi (pengulangan vokal), kata-kata tersebut lebih mengutamakan susunan atas bunyi yang menciptakan efek merdu dalam pendengaran dan memiliki sifat emotif, yaitu mampu menimbulkan emosi yang berfungsi sebagai frase yang liris atau musikal. Setiap kata yang dipilih diharapkan memiliki asosiasi kepada berbagai kemungkinan penafsiran yang dapat di tinjau dari sensitivitas, intonasi, bunyi, irama, simbol, yang dapat berdiri sendiri secara otonom atau mempunyai pengertian yang mandiri. Di samping itu kata di pakai untuk mampu menciptakan sugesti dan mampu membangkitkan suasana tertentu dalam diri pembacanya
Nilai estetis kata di dalam sajak itu biasanya merujuk kepada intuisi atau kepekaan dan pengalaman puitik seorang penyair sehingga mampu menciptakan pengertian kata dalam dimensinya yang baru, yang lebih segar dan hidup. Dimensi dalam perspektif yang lebih luas dari makna kata-kata itu sendiri dalam kandungan pengertiannya yang lama. Nilai kata-kata dalam sajak haruslah fleksibel atau lentur (plastis) dalam artian tidak semata–mata mengacu pada pengertian leksikon yang baku, tapi terlebih lagi mampu mewujudkan imaji puitis penyairnya. Perlu kita garis bawahi sekali lagi bahwa kata-kata dalam sajak harus memiliki karakter yang otonom dimana kata-kata sanggup berdiri sendiri secara utuh dan tidak tergantikan oleh kata lain bahkan oleh sinonimnya sekali pun dalam mendukung impresi sajak itu sendiri, sehingga kata itu tidak bisa kita hapus atau kita ganti begitu saja tanpa merusak arsitektur bangunan sajak secara keseluruhan.
Seorang penyair yang baik akan memusatkan perhatian sepenuhnya pada pilihan kata-kata untuk menyampaikan pengalaman puitiknya agar tidak terjebak kepada kitsch, slogan, protes, esai atau bahkan prosa. Di sini perlu kita pahami lebih lanjut perbedaan asasi antara sajak dan puisi, sebagaimana dinyatakan oleh Putu Arya Tirtawirya, ‘Sajak adalah puisi, tetapi puisi belum tentu sajak’ sebab puisi adalah suatu pengungkapan secara implisit, samar dengan makna tersirat dimana kata-kata condong pada artinya yang konotatif sementara sajak adalah apa yang ada dibalik yang tersirat itu. Sajak adalah cermin tempat manusia berkaca, tampak sosok dirinya dalam masa lalu, masa kini dan masa depan sekaligus.
Dalam esainya ‘Arti Komunikasi Dalam Sebuah Sajak’ Putu arya menjelaskan lebih lanjut bahwa di dalam sajak, kata tidak lagi berfungsi sebagai alat komunikasi semata tetapi sesungguhnya merupakan lagu penggambaran jiwa sang penyair sebagai sebuah pribadi yang utuh. Tatkala berhadapan dengan sajak kita tidak lagi berasosiasi dengan kalimat, tetapi justru kepada pemikiran, pengalaman, emosi dan cinta. Oleh karena itu sajak yang baik tidak tampil sebagai sebuah realitas harafiah, ia harus mengandung misteri, terselubung oleh kabut tipis yang gaib tapi tidak sepenuhnya gelap atau pelik, harus ada setitik cahaya yang mengantarkan kita pada pemaknaan, lentik api itu harus terbit untuk merangsang pemikiran dan mampu menggugah perasaan. Kata-kata dalam sajak dipilih untuk menggugah rasa keindahan dan sekaligus harus mengandung kejujuran, karena kejujuran adalah elemen penting dalam setiap karya sastra yang bermutu.
Sajak sebagai sebuah karya seni harus diciptakan dengan kreativitas yang melahirkan perjalanan jiwa seorang penyair, dan diksi di pilih dari unsur yang dihayati oleh sang penyair. Penyair harus dapat menemukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya dan mengangkatnya menjadi sebuah karya yang sanggup memberi manfaat bagi kemanusiaan. Budi Darma dalam esainya ‘Perkembangan Puisi Indonesia Mutakhir’ menyatakan bahwa salah satu jaminan yang penting dalam kreativitas adalah kejujuran penyairnya terhadap apa yang dia kuasai. Boleh dibilang bobot sebuah sajak dan juga karya sastra lainnya adalah untuk mengungkapkan kebenaran universal. Dimana dalam sajak, kebenaran itu terbungkus oleh metafora layaknya sutera tipis yang indah dan halus motifnya. Disitulah tantangan utama bagi seorang penyair untuk melahirkan sebuah sajak yang bagus, ia harus melewati sebuah perjuangan kreatif yang tidak mudah. Perjuangan merangkai kata-kata menjadi suatu kesatuan unikum yang utuh yang mampu menggelorakan perasaan dan mampu menyentuh kalbu.
Anggapan bahwa esensi sajak adalah tema atau gagasan dan bukannya kata menjadi gugur dengan sendirinya manakala kita melihat kenyataan bahwa sajak bukan semata kerja intelektual tapi lebih merupakan kerja seni, sebagaimana contoh yang pernah dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono bahwa seorang cendekiawan dengan segudang ide belum tentu dapat dengan mudah menulis sebuah sajak yang bagus dan berhasil. Bagi penyair seharusnyalah sajak merupakan sebuah proses pencarian, yaitu sebuah proses mencoba terus menerus dalam usahanya untuk menaklukkan kata.
Setiap penyair yang baik pasti memiliki arah dan punya obsesi tertentu dalam berkarya di mana ia dengan setia dituntut terus menerus mengunyah kata demi kata untuk mencapai kesempurnaan estetiknya, sekali pun proses itu harus ia lewati berulang kali dengan susah payah. Mengolah gagasan yang sama terus menerus adalah merupakan bentuk obsesi, karena kata-kata bisa diciptakan kembali lewat sekian banyak pendekatan atau diproses kembali melalui segala aspek kreatif untuk mencapai sebuah impresi yang baru dan lebih segar dengan gaya pengucapan yang lebih bernas. Oleh sebab itu seorang penyair yang baik pada hakekatnya tidak pernah berhenti bereksperimen karena setiap bentuk percobaan penulisan pengalaman dan perenungan ke dalam sajak adalah upaya untuk memperoleh jawaban dari kegelisahan puitik seorang penyair untuk menemukan kata-kata yang tepat mewakili perasaan dan isi hatinya.
Seperti dinyatakan pula oleh Budi Darma bahwa tantangan utama seorang penyair adalah mengasah kreativitas, dan salah satu ciri kreativitas adalah mencari, tetapi bobot utama kreativitas bukan terletak pada usaha mencari itu sendiri melainkan terletak pada keakraban terhadap apa yang dia pakai, garap dan temukan. Oleh sebab itu sudah seharusnya para penyair mengakrabi kata-kata, atau kalau perlu memperlakukan kata-kata sebagai seorang kekasih karena itu merupakan salah satu bentuk pendekatan yang efektif agar kata-kata dapat tampil hidup dalam sajak-sajaknya. Tema memang selalu saja berulang, seorang penyair bisa saja terus menerus menulis tentang cinta, hidup atau kematian tapi setiap kali pula ia bisa menghasilkan sajak yang berbeda sama sekali dari karya yang sebelumnya. Hal ini hanya mungkin berlaku bagi seorang penyair yang mau secara konsisten mengasah bakat, kepekaan dan pengalaman puitiknya sehingga setiap pengalaman, kejadian, maupun gagasan pemikiran yang paling sederhana sekali pun dapat ia ubah lewat inspirasi puitik menjadi sebuah sajak yang bagus tanpa merasa perlu kehabisan kosa kata.
Februari 2004
Oleh Maman S. Mahayana
Ketika Sutardji Calzoum Bachri (SCB) memproklamasikan Kredo Puisinya: “membebaskan kata dari beban makna, menghancurkan penjajahan gramatika, dan mengembalikan kata pada awalnya, pada mantera” dan coba mengimplementasikan sikap kepenyairannya itu dalam karya, jagat sastra Indonesia–khasnya puisi— seketika seperti dilanda kegandrungan eksperimentasi. Semangat kembali pada tradisi dan kultur etnik –yang dirumuskan Abdul Hadi WM sebagai kembali ke akar kembali ke sumber— laksana memasuki zaman aufklarung: menyebarkan pencerahan betapa sesungguhnya Nusantara punya warisan kultur agung.
Kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak (1973) yang sarat mantera seperti saklar yang mengingatkan sastrawan—penyair pada corak keindonesiaan yang menjelma dengan semangat dan elan baru. Bukankah keindonesiaan terbentuk melalui perjalanan panjang dan rumit proses akulturasi dan inkulturasi etnisitas berhadapan dengan kebudayaan Hindu, Buddha, Islam, dan belakangan Barat? Di sana kultur etnik menjadi akar dengan tradisi sebagai sumber wawasan estetiknya. Kembali ke kultur etnik, kembali ke tradisi, itulah gerakan estetik yang diusung sastrawan tahun 1970-an.
Sutardji Calzoum Bachri dan sastrawan seangkatannya memahami tradisi tidak lagi sebagai sesuatu yang statis, selesai, dan dilupakan yang dikatakan oleh generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dengan “… kami tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan lama sampai ber-kilat dan untuk dibanggakan….” Tradisi bagi sastrawan Angkatan 70-an ini ditempatkan sebagai sesuatu yang dinamis, elastis, terus hidup dan dihidupi masyarakatnya. Maka, ia harus selalu berada dalam semangat melakukan tafsir ulang sesuai dengan keperluan masa kini. Dikatakan Abdul Hadi, tradisi bukan sekadar produk sejarah, melainkan juga sebagai sistem pengetahuan holistik yang berkaitan dengan kehadiran rahasia Yang Transenden dalam kehidupan. Dengan semangat itulah, SCB memperlakukan tradisi Melayu yang melahirkan dan membesarkannya sebagai sumber wawasan estetiknya. Ia menjadi alat kesadaran untuk berbuat—mengungkap-mengucap.
Salah satu sarana untuk mengungkap-mengucap itu adalah puisi. Dan SCB memahami benar, bahwa puisi bermain dalam tataran bahasa dengan kata sebagai intinya. Maka, ia meneroka hakikat kepenyairannya dalam cengkeraman kegelisahan yang hidup yang pencariannya tidak sekadar mencipta ilham atau mengolah kata sebagaimana yang dilakukan Chairil Anwar. Puisi bukan sekadar menghidupkan kembali bahasa yang sudah usang (arkaik) menjadi lebih segar sebagaimana yang dilakukan Amir Hamzah. Juga tidak sebatas memanfaatkan bahasa sehari-hari sebagai alat ucap yang penuh vitalitas, seperti yang diperlihatkan Chairil Anwar.
Bagi SCB, tugas penyair adalah melakukan penjelajahan, menukik—mengorek sampai ke inti kata. Mencipta kata dan membiarkan menemukan maknanya sendiri. Di sinilah, pesan spiritualitas SCB mengembalikan kata pada mantera akan menyesatkan jika ditafsirkan secara letterlijk, harafiah! Pesan spiritualitasnya mesti dimaknai lebih jauh sebagai salah satu upaya mengembalikan rahasia yang transenden sebagai ruh puisi. Maka, puisi bukan semata-mata deretan kata-kata yang membangun makna sintaksis—semantis, melainkan kata yang dapat memancarkan sihir, ritme yang membangun sugesti, dan ekspresi yang dapat menghidupkan saklar imajinasi, inspiring untuk membawa pembaca—pendengarnya menerbangkan asosiasinya ke wilayah pengalaman spiritualitas masing-masing. Puisi harus menyimpan kekuatan magis yang membetot pembaca—pendengarnya ke dalam wilayah transendensi yang mahaluas, tak terbatas ruang dan waktu.
Di situlah SCB berhasil melampaui vitalitas Chairil Anwar dan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang minta-minta warisan dari kebudayaan dunia. SCB tidak mendurhaka pada Mak Budayanya (Melayu), sekaligus juga tidak bermaksud me-laplap sampai berkilat. Ia membangun wawasan estetiknya dari usaha menafsir ulang tradisi dan sekaligus menghidupinya kembali. Itulah yang dikatakannya sebagai upaya melupa dan mengingat. Dengan begitu, karya-karya SCB laksana simbol perlawanan—pemberontakan estetik pada mitos Chairil Anwar dan sekalian membongkar stagnasi makna metafisik Amir Hamzah, bahkan juga Hamzah Fansuri. Tetapi, ia juga mengenang kembali semangat transendensi sufistik. Begitulah, SCB sesungguhnya coba melupa mantera dan mengingat sihirnya. Ia menghapus pantun dan menorehkan spontanitas sampirannya. Ia juga coba menenggelamkan pencarian dan kerinduan sufistik dan memancarkan semangat spiritualitasnya, penemuannya, dan ekspresi kreatifnya.
***
Harus diakui, pada dasawarsa 1950-an, Ajip Rosidi coba menawarkan kultur keindonesiaan sebagai lahan garapan sastrawan yang kemudian memunculkan begitu banyak kosa-kata bahasa daerah. Tetapi pengucapannya belum lepas dari pengaruh Chairil Anwar dan sastrawan seangkatannya. Seperti Mohammad Yamin yang memperkenalkan tubuh soneta dalam jiwa pantun. Bentuk luar dan kemasannya seolah-olah baru, meskipun isinya belum beranjak dari cengkeraman jiwa yang lama.
Itulah salah satu yang menjadikan akar (kultur ibu—Mak Budaya) dan sumber (tradisi) yang dihidupkan kembali dalam puisi-puisi SCB membawa penyadaran atas keberlimpahan kultur keindonesiaan yang sesungguhnya. Heterogenitas yang sudah mengada sejak lahirnya, bahkan juga sejak dalam kandungan. Di situlah kultur etnik seketika terangkat menjadi kesadaran akan kekayaan kultural. Tradisi serempak jadi bahan pencarian. Tipografi diperlakukan sebagai asesori penting. Kata-kata—bahasa tidak sekadar alat permainan dan sekaligus ukuran kualitas kesastrawanan, melainkan coba didekonstruksi dan dimaknai kembali secara bebas sesuai tuntutan jiwa puisi itu sendiri. Dan manakala SCB harus mempertanggungjawabkan ekspresi puitiknya di depan publik dalam sebuah pementasan, puisi serta-merta menjadi pentas bergengsi. Pembacaan puisi bergerak, membentuk pementasan artistik yang bermartabat. Pembacaan puisi menjadi pagelaran produk budaya yang asyik ditonton!
Dalam pentas dunia, sastra Indonesia kini tak lagi sebagai warga sastra dunia, melainkan menjelma bagian dari sastra dunia itu sendiri. Maka, ketika para pengamat sastra Indonesia –dalam dan luar negeri—secara seksama mencermati karya-karya SCB berikut kiprah kesastrawanannya selama hampir empat dasawarsa ini (Periksa esai-esai dalam buku Raja Mantra Presiden Penyair, Jakarta: Yayasan Panggung Melayu, 2007), Chairil Anwar dan penyair berikutnya mendadak surut ke belakang. Berada dalam cengkeraman ngiau.
***
Popo Iskandar mengungkapkan, bahwa eksplorasi SCB lebih mendalam dibandingkan Chairil Anwar. Konteks pernyataan itu tentu saja bukan pada perbedaan zaman, melainkan pada usaha melakukan penggalian pada hakikat kata, mengorek sampai ke inti kata yang kelak bakal menjadi ruh, jiwa, dan tubuh puisi. Itulah semangat penyair yang hidup. Ia bukan penulis puisi yang cukup menderetkan kata-kata yang membangun rangkaian makna. Penyair adalah pencipta dunia lewat kata-kata. Ia juga seorang pesulap, pawang kata-kata yang piawai menyimpan filosofi seninya, estetika, wawasan, elan, bahkan ideologinya tentang kesenian, kemanusiaan, dan kehidupan. “Ia adalah ruh, semangat, mimpi, obsesi, dan igauan dan kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata…” begitulah ucap SCB.
Berbagai tanggapan kemudian bermunculan, tetapi tidak ada yang coba membandingkan reputasi dan kebesaran SCB dengan Chairil Anwar. Bahkan A. Teeuw dan Umar Junus, menyebutkan puisi SCB, seperti POT atau SHANG HAI dan beberapa puisi SCB lainnya yang semodel dengan itu sebagai tak ada artinya. Meski begitu, dalam esainya “Terikat pada Pembebasan Kata” (Tergantung pada Kata, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980) A. Teeuw, menyatakan, “… saya tidak menyangkal pula kekuatan dan keorisinalan pendekatan puisi Sutardji. Dialah yang paling radikal dan berani merombak sistem bahasa dalam perontaannya untuk mencari jejak Tuhan….” Dalam esai itu juga, A. Teeuw menegaskan, bahwa SCB berhasil mencipta sendiri makna kata-kata yang digunakannya di luar konvensi bahasa yang berlaku. Sejumlah penyair senior juga tiba-tiba seperti mengalami sindrom buah apel, yaitu ketika seorang melabeli anggur yang menggantung di atas kepalanya sebagai masam, karena ia tidak sanggup meraihnya.
***
Sesungguhnya, sejauh manakah capaian estetik SCB? Relevankah kita mambandingkan monumen yang telah ditancapkan Chairil Anwar atau para penyair lainnya dengan monumen (: capaian estetik) SCB? Jika Dami N. Toda (“SCB: Datu Teknik Perpuisian Indonesia Modern: Studi Bentuk Diksi Puitik O, Amuk, Kapak, 1981”) menempatkan Chairil Anwar sebagai mata kanan dan SCB sebagai mata kiri sastra Indonesia, maka saya –setelah coba mendalami ceruk kedalaman puisi-puisi SCB, coba menangkap makna di balik kesederhanaan dan kelincahpiawaian naratif cerpen-cerpennya, mencermati pandangan kritis para pengamat sastra Indonesia tentang Sutardji Calzoum Bachri dan terhanyut saat menjelajahi filsafat seninya dalam Isyarat (2007), rasanya saya harus berkesimpulan: Sutardji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar!
(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)
Sumber: http://mahayana-mahadewa.com/?p=459
BANJARMASIN, KOMPAS.com - Kesusastraan dan bahasa Banjar sebagai bahasa ibu masyarakat Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan akan dimasukkan dalam muatan lokal di sekolah. Saat ini, kian banyak masyarakat setempat yang tidak lagi bisa berbahasa Banjar secara baik.
Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin mengatakan, upaya untuk memasukkan bahasa Banjar ke dalam muatan lokal sudah ditempuh melalui rancangan peraturan daerah tentang pendidikan, yang kini masih berada di tangan DPRD Kalsel. Diharapkan, dalam waktu dekat peraturan daerah itu sudah bisa terealisasi.
"Mengapa kita masukan bahasa ini ke sekolah, ini untuk menjaga identitas sosial dan etnik masyarakat banjar sendiri," ujar Rudy saat memberi sambutan pada Seminar Nasional Linguistik di Banjarmasin, Senin (11/1/2010).
Menurut Rudy, keberadaan orang Banjar tersebar luas hingga ke luar Kalsel. Ia mencontohkan orang Banjar di Riau, Jambi, dan Sumatera Utara, juga menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Di Kalsel sendiri terdapat sekitar 70-80 persen yang menggunakan bahasa yang dimaksud. Begitu pula di Kalimantan Timur 30-40 persen dan Kalimantan Tengah 30-40 persen.
Sumber: kompas.com
Jakarta, Sabtu (21 November 2009)
Berdasarkan surat Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 178/MPN/HK/2009 tanggal 03 Desember 2009 perihal: Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran 2009/2010, maka dengan ini diberitahukan bahwa Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) akan menyelenggarakan UN pada tahun 2010 dengan jadwal sebagai berikut:
Jadwal Ujian Nasional SMA/MA, SMALB, dan SMK Tahun Pelajaran 2009/2010
Pemerintah mencanangkan program reformasi guru secara besar-besaran pada 2010-2014. Selain penyesuaian jabatan fungsional, reformasi guru antara lain dilakukan melalui peningkatan kesejahteraan guru, redistribusi guru, serta pendidikan profesi guru (PPG) yang dimulai September 2010.
Mengenai redistribusi guru, pemerintah tengah menyusun aturan yang memaksa mutasi guru antar-kota kabupaten di satu provinsi.
"Supaya guru-guru yang di kota tidak lagi menumpuk. Seperti di SMPN 1 Medan, masak guru bisa kelebihan 35 orang," tutur Achmad Dasuki Direktur Profesi Pendidik Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Depdiknas RI Achmad Dasuki, Rabu (2/12) di Universitas Islam Nusantara Bandung.
"Jumlah guru saat ini mencapai 3,4 juta orang, sehingga rasio guru dan murid mencapai 1:15. Jepang dan Korea saja 1:20. Kondisi seperti ini membebani fiskal kita," katanya. Namun, pada saat sama, hingga 2015 akan terjadi pensiun massal 400.000 orang.
Sumber: kompas.com